Upaya pembangunan nasional yang berkelanjutan di segala aspek bidang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia merupakan bentuk perhatian negara dalam mewujudkan tujuan nasional, seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mewujudkan  hal  tersebut,  perlu secara terus-menerus melakukan usaha pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan memperkaya diri yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pada kenyataannya, korupsi menjadi kejahatan yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara yang sangat besar. Seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi jo. Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang  Perubahan atas Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang Undang ini menekankan pada pengembalian kerugian keuangan negara atau pengembalian aset. Selain itu, terdakwa juga dikenai pidana penjara dan denda. Dalam beberapa kasus, seorang terdakwa korupsi mengalami kejadian yang tak disangka, seperti terjadinya kematian. Hal tersebut berakibat pada gugurnya hukuman pidana terhadap seseorang yang telah menjadi terpidana. Berdasarkan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia". Dengan meninggalnya seorang terpidana korupsi maka negara masih mempunyai hak menuntut ganti rugi keuangan negara melalui gugatan perdata berlandaskan asas forfeiture pada Pasal 33 dan 34 UU Tipikor. Pasal ini menjelaskan bahwa berkas perkara perdata pada tersangka tindak pidana korupsi yang telah meninggal dapat berpindah kepada ahli waris. 

Sebagai contoh, kasus Lukas Enembe yang divonis 10 tahun penjara lalu, di tengah proses peradilan ia meninggal dunia. Meskipun pengadilan telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara atas dakwaan korupsi, kematian Lukas Enembe sebelum putusan itu berkekuatan hukum tetap (inkracht) secara otomatis menggugurkan sanksi pidana tersebut. Hal ini sejalan dengan asas fundamental dalam Pasal 77 KUHP, yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat personal dan hapus saat terdakwa meninggal. Negara, dalam hal ini, kehilangan hak untuk mengeksekusi hukuman penjara atau denda yang melekat padanya. Namun, gugurnya tuntutan pidana tidak serta-merta menghapuskan kerugian keuangan yang diderita negara. Kematian hanya menghentikan hukuman atas pribadi, tetapi tidak melenyapkan aset yang diduga diperoleh secara tidak sah. Di sinilah Jaksa Penuntut Umum KPK beralih strategi, menerapkan asas forfeiture. Fokus JPU bergeser dari menuntut secara pidana menjadi menggugat secara perdata. Aset yang diduga hasil korupsi pada dasarnya dianggap sebagai utang kepada negara yang harus dikembalikan.

Regulasi yang melekat pada kasus ini adalah pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan bahwa tuntuntutan pidana menjadi gugur apabila terdakwa meninggal dunia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi jo. Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang  Perubahan  atas Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur mengenai Pasal 33 menjelaskan bahwa jika tersangka meninggal saat penyidikan dan telah ada kerugian negara, berkas diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 mengatur hal serupa untuk terdakwa yang meninggal saat sidang, dengan penyerahan salinan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 

Untuk memulihkan kerugian yang dialami akibat korupsi yang dilakukan oleh Lukas Enembe, JPU harus menempuh langkah alternatif berupa gugatan perdata yang diatur dalam Pasal 33 dan 34 UU Tipikor. Target dari gugatan ini bukanlah terdakwa, melainkan harta warisan yang akan turun kepada para ahli warisnya. Penting untuk dicatat, ahli waris digugat bukan karena mereka dianggap turut melakukan korupsi, melainkan dalam kapasitas mereka sebagai penerima harta warisan (boedel). Dalam kacamata hukum perdata, kerugian negara dianggap sebagai kewajiban yang melekat pada harta warisan tersebut. Oleh karena itu, tanggung jawab para ahli waris pun bersifat terbatas, yakni mereka hanya wajib mengembalikan kerugian negara sebatas nilai total harta warisan yang mereka terima, tidak lebih. Berkaitan dengan UU perampasan aset yang akan disahkan, kasus semacam Lukas Enembe dapat diterapkan dengan gugatan perdata terhadap ahli waris untuk penyitaan harta kekayaan sebelum dilakukan pembagian harta warisan. Seorang ahli waris dapat mengajukan bantahan jika harta kekayaan yang diperoleh dari warisan tidak mengandung hasil tindak pidana korupsi sehingga penyitaan dapat dibatalkan. Kemudian ketika perampasan aset tersebut dieksekusi dari warisan yang telah dibuktikan merupakan hasil tindak pidana korupsi maka seorang ahli waris tak dapat menolak proses penyitaan tersebut.

Kematian seorang terdakwa korupsi, seperti dalam kasus Lukas Enembe, pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan kepadanya gugur secara otomatis berdasarkan Pasal 77 KUHP. Namun, upaya negara untuk memulihkan kerugian keuangan negara tidak berhenti. Fokus penegakan hukum kemudian beralih dari ranah pidana ke ranah perdata, di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) menerapkan asas forfeiture. Dengan dasar hukum Pasal 33 dan 34 UU Tipikor, JPU dapat melayangkan gugatan perdata yang ditargetkan kepada ahli waris terdakwa. Gugatan ini bertujuan untuk menyita aset hasil korupsi yang telah beralih menjadi harta warisan (boedel), dengan catatan tanggung jawab ahli waris terbatas hanya sebatas nilai warisan yang mereka terima, sebuah mekanisme yang diharapkan akan semakin diperkuat oleh RUU Perampasan Aset.


Referensi

A. Ramli. 2023. Hukuman 10 Tahun Pidana Lukas Enembe Gugur, KPK Bisa Gugat Perdata untuk Pulihkan Kerugian Negara. Diakses pada 18 November 2025. https://www.publiksatu.co/hukum/amp/1523658063/hukuman-10-tahun-pidana-lukas-enembe-gugur-kpk-bisa-gugat-perdata-untuk-pulihkan-kerugian-negara

H. Derry. 2025. Saatnya Negara Serius Merampas Aset Hasil Tindak Pidana. Diakses pada 18 November 2025. https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/saatnya-negara-serius-merampas-aset-hasil-tindak-pidana-01d#:~:text=Orientasi%20RUU%20Perampasan%20Aset,profesional%2C%20transparan%2C%20dan%20akuntabel.

https://news.detik.com/berita/d-7109865/kpk-soal-lukas-enembe-meninggal-kasusnya-berakhir-demi-hukum

Indriana, Y. (2018). Pengembalian ganti rugi keuangan negara pada perkara tindak pidana korupsi. Cepalo2(2), 123-130.

Mashuri, M. (2020). Pengaturan Hukum Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Atas Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Yang Meninggal Dunia. MIMBAR YUSTITIA: Jurnal Hukum dan Hak Asasi Manusia4(1), 1-13.

Zebua, F. R. P., Jauhari, I., & Siregar, T. (2008). Tanggungjawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Ahli Warisnya Dalam Pembayaran Uang Pengganti Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan). Jurnal Mercatoria1(2), 150-162.


Penulis: Agung Catur Nugroho