Pemberantasan korupsi di Indonesia nampak mengalami stagnasi yang mendalam pada upaya penindakan bahkan pencegahan. Modus operandi korupsi modern menjadi semakin canggih, sistematis, dan sering kali tidak meninggalkan jejak transaksional yang jelas, sehingga sulit untuk dibuktikan melalui delik-delik korupsi konvensional seperti suap atau penggelapan. Akibatnya, kerangka hukum yang ada menjadi tumpul dalam menghadapi manifestasi korupsi yang paling nyata yakni, gaya hidup mewah dan akumulasi kekayaan pejabat publik yang jauh melampaui profil pendapatan mereka yang sah.

Di satu sisi, negara telah menunjukkan komitmen formal di tingkat internasional dengan meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Ratifikasi ini secara hukum mengikat Indonesia untuk mempertimbangkan secara serius adopsi seluruh ketentuan dalam konvensi, termasuk salah satu instrumen paling progresif, yaitu kriminalisasi illicit enrichment atau perolehan kekayaan secara tidak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UNCAC. Namun, di sisi lain, setelah lebih dari satu setengah dekade sejak ratifikasi tersebut, delik krusial ini belum juga diadopsi ke dalam hukum positif Indonesia, baik melalui revisi Undang-Undang Tipikor maupun undang-undang lainnya.

Bukti empiris mengenai urgensi kriminalisasi illicit enrichment terpampang nyata melalui berbagai kasus fenomenal yang mengguncang publik. Kasus lama seperti Gayus Tambunan, seorang pegawai negeri sipil (PNS) golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak yang terungkap memiliki kekayaan miliaran rupiah di rekeningnya, menjadi preseden awal yang mengejutkan. Fenomena ini kembali terulang dengan skala yang lebih besar dalam kasus Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat eselon III di institusi yang sama, yang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya mencatat angka fantastis lebih dari Rp 56 miliar.

Hal ini juga menelanjangi kegagalan sistem LHKPN sebagai instrumen pencegahan. Alih-alih menjadi alat deteksi dini yang efektif, LHKPN dalam praktiknya lebih bersifat formalitas administratif. Tidak ada sanksi pidana yang tegas bagi pejabat yang melaporkan hartanya secara tidak jujur. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan pernah menyebutkan bahwa hanya sekitar 5% penyelenggara negara yang melaporkan LHKPN secara akurat dan jujur. Hal ini menjadikan LHKPN sebagai instrumen yang tumpul, yang baru menjadi perhatian setelah sebuah skandal meledak ke publik karena faktor eksternal, bukan karena efektivitas sistem pengawasan internal itu sendiri.

Illicit Enrichment dalam UNCAC
Illicit enrichment merupakan sebuah respons hukum yang telah teruji dan diakui secara luas di berbagai belahan dunia sebagai cara efektif untuk melawan korupsi yang sulit dibuktikan. Pada tahun 2003, UNCAC secara resmi mengangkatnya menjadi standar global. Dengan dimasukkannya illicit enrichment ke dalam konvensi yang bersifat mengikat secara hukum dan diratifikasi oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, konsep ini memperoleh legitimasi internasional yang kuat dan menjadi tolok ukur bagi reformasi hukum anti-korupsi di tingkat nasional.

Pasal 20 UNCAC memberikan definisi yang menjadi rujukan utama bagi negara-negara dalam merumuskan delik illicit enrichment. Bunyi pasal tersebut adalah: “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.”

Dari rumusan pasal tersebut, unsur-unsur fundamental yang dapat ditelaah meliputi:

  • Pelaku merupakan seorang pejabat publik
  • Adanya kekayaan yang meningkat secara signifikan
  • Peningkatan kekayaan yang didapatkan tidak bisa dijelaskan dengan rasional
  • Kekayaan yang dimiliki tidak sesuai dengan pendapatan yang sah
  • Dilakukan secara sadar atau sengaja

Illicit Enrichment dalam Hukum Indonesia
Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC, negara ini belum sepenuhnya mengkriminalisasi illicit enrichment sebagai delik mandiri. Perbandingan dengan negara lain menunjukkan bahwa setidaknya 44 negara di dunia telah memiliki instrumen hukum setingkat undang-undang mengenai illicit enrichment, termasuk Peru yang memberikan sanksi antara 5 hingga 10 tahun, sehingga, hal ini menciptakan celah signifikan dalam pemenuhan kewajiban internasional. Aspek krusial dari illicit enrichment sebagaimana didefinisikan secara internasional adalah tidak adanya persyaratan untuk membuktikan aktivitas kriminal yang mendasari atau terpisah. Dengan tidak adanya undang-undang khusus yang berdiri sendiri, sistem hukum Indonesia terpaksa menghubungkan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan dengan tindak pidana asal (seperti korupsi atau pencucian uang). Ketergantungan pada hubungan kausal tersebut berimplikasi pada konstruksi hukum yang secara inheren kurang efisien dan efektif dalam menuntut kasus kekayaan yang tidak dapat dijelaskan, karena membebankan beban pembuktian yang lebih tinggi kepada penuntut umum, yang secara langsung berkontribusi pada tingkat pemulihan aset yang rendah.

Sistem Pembuktian Terbalik
Untuk mengatasi korupsi sebagai kejahatan luar biasa, diperlukan instrumen hukum yang juga luar biasa. Pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslast) dianggap sebagai pilihan yang logis untuk menjawab tantangan beban pembuktian yang rumit pada penuntut umum. Pembalikan beban pembuktian adalah mekanisme di mana terdakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari sumber yang sah. Illicit enrichment juga akan melibatkan pembalikan beban pembuktian, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa kekayaannya berasal dari sumber yang sah. Meskipun mekanisme ini dapat bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk tidak memberatkan diri sendiri (non-self incrimination). UNCAC, dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf (b), memberikan pilihan kepada negara-negara peserta untuk mempertimbangkan jenis beban pembuktian ini, terutama untuk kasus di mana kekayaan terdakwa diduga berasal dari hasil yang tidak sah. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi pengembalian aset (asset recovery). Saat ini, hukum di Indonesia memiliki dualisme pengaturan mengenai beban pembuktian, antara Pasal 66 KUHAP yang menyatakan terdakwa tidak dibebani pembuktian, dan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 yang memberikan ruang untuk pembuktian terbalik dalam kasus korupsi.

LHKPN Instrumen yang Gagal ?
Efektivitas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam mencegah pejabat dengan kekayaan tidak wajar (illicit enrichment) masih rendah, meskipun tingkat kepatuhan pelaporannya terus meningkat. Peningkatan kepatuhan tidak diiringi dengan validitas laporan, karena 95% LHKPN yang disampaikan tidak akurat, dengan banyak penyelenggara negara menyembunyikan aset seperti tanah, bangunan, dan investasi lain. LHKPN belum mampu mencapai tujuan awalnya, yaitu mencegah korupsi dan mendeteksi praktik illicit enrichment. Banyak pejabat yang telah melaporkan LHKPN tetap terjerat kasus korupsi, dengan temuan bahwa mereka menyembunyikan asetnya.

Sebagai contoh, pada kasus korupsi mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, yang divonis melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan pada tahun 2020 dengan hukuman penjara delapan tahun. Tercatat bahwa Emirsyah melaporkan LHKPN pada tahun 2002, 2006, 2010, dan 2013, kemudian divonis pada tahun 2020. Hal ini menunjukan LHKPN tidak mampu menjadi langkah pencegahan terhadap praktik korupsi terkhususnya untuk penyelenggara/pejabat negara.

Urgensi Kriminalisasi Illicit Enrichment dalam Konstruksi Pemberantasan Tipikor

Fenomena korupsi di Indonesia secara partikular menyoroti keterlibatan pejabat negara atau penyelenggara negara. Tindakan korupsi yang dilakukan ini merepresentasikan bentuk pengkhianatan paling fundamental terhadap kepercayaan publik (public trust), sebab mereka menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) yang dilegitimasi oleh hukum dan mandat rakyat. Terhitung hampir 20 tahun sejak diratifikasinya UNCAC pada 2006, tetapi negara ini masih belum mengambil langkah tegas dalam memberantas korupsi. Illicit enrichment belum dikriminalisasi seutuhnya dalam konstruksi pemberantasan tindak pidana korupsi. Aktor-aktor korupsi yang mayoritas merupakan pejabat negara atau penyelenggara negara, menjadikan kondisi di mana illicit enrichment perlu segera dikriminalisasi.



Referensi:

Al-Hamid, M. S. (2022). Determinasi Illicit Enrichment dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Al-Mizan (e-Journal), 18(2), 243–268.

Dalilah, E. dan Juwono, V. (2022). Evaluasi Implementasi Kebijakan LHKPN: Dimensi Program Marsh & McConnell. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 7(2), 311-324.

Palma, A. K., Abid, L., Martini, S., Alim, H., & Diansyah, F. (2014). Implementasi dan pengaturan illicit enrichment (Peningkatan kekayaan secara tidak sah) di Indonesia.

Shulman, S. (2010). Of The United Nations Convention. Law Review, 29 (3).