Dalam beberapa tahun terakhir, Indeks Persepsi Korupsi meningkat dari 34 ke 37, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa korupsi masih kian eksis. Hal ini dipicu oleh penyusunan berbagai produk hukum yang tidak melibatkan Meaningful Participation, sehingga melahirkan regulasi yang cacat dan tidak solutif. Contohnya pada Undang-Undang (UU) BUMN yang tumpang tindih dengan UU Keuangan Negara dan dilakukan dua kali revisi dalam setahun, UU TNI yang terkesan terburu-buru dan tertutup, serta KUHAP yang tidak melibatkan Meaningful Participation. Kesemuanya memperlihatkan bahwa absennya partisipasi masyarakat yang bermakna membuka ruang bagi korupsi untuk tetap mengakar.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan Meaningful Participation sebagai: (1) hak untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Namun, di balik semua itu, terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) melalui Pasal 96 yang mengatur mengenai Meaningful Participation justru belum menjadi solusi bagi masyarakat. Hal ini terlihat dalam Pasal 96 ayat (4) UU P3 yang menyatakan bahwa “Setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.” Penggunaan kata “dapat” dalam ketentuan tersebut mengandung makna bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa saja melaksanakan ketentuan tersebut atau tidak melaksanakannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Lebih lanjut, pada Pasal 96 ayat (3) mengenai nomenklatur “terdampak”, yakni “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung”, timbul pertanyaan apakah istilah “terdampak” tersebut berkonteks pada dampak yang positif/menguntungkan atau negatif/merugikan. Nomenklatur tersebut berpotensi menimbulkan ruang penafsiran yang keliru. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan tiga arti Meaningful Participation yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan, maka hanya hak untuk didengar yang terakomodasi dalam Pasal 96 ayat (1). Sementara itu, dua hak lainnya, yaitu hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan, belum terakomodasi secara sempurna.

Maka penting kiranya bagi DPR bersama pemerintah terkait untuk menyempurnakan terlebih dahulu dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2022, khususnya pada bab Partisipasi Masyarakat, dengan menghilangkan kata “dapat” agar berubah menjadi kewajiban, memperjelas konteks kata “terdampak”, serta menyusun aturan turunan sebagaimana amanat Pasal 96 ayat (9) UU Nomor 13 Tahun 2022.

Dengan demikian, ketika UU Nomor 13 Tahun 2022 telah direvisi, khususnya pada bab Partisipasi Masyarakat dengan mempertimbangkan hal di atas, maka kedepannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan akan menjadi solusi bagi masyarakat dan juga akan menjadi alat utama yang dapat digunakan untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Korupsi lainnya seperti RUU Perampasan Aset dan RUU-RUU lainnya.

Maka dari itu, perjuangan melawan korupsi tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan masyarakat. Melalui penguatan regulasi dan keterlibatan publik yang bermakna, RUU Perampasan Aset harus menjadi titik awal reformasi proses legislasi yang lebih transparan, akuntabel, responsif dan solutif terhadap kebutuhan rakyat. Untuk itu, di Hari Anti Korupsi Sedunia 2025, Garda Tipikor mendesak:

  1. DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkhususnya pada bab Partisipasi Masyarakat.
  2. DPR bersama pemerintah terkait untuk menyusun aturan turunan sebagaimana amanat Pasal 96 ayat (9) UU Nomor 13 Tahun 2022
  3.  DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset.
  4. Membahas RUU Perampasan Aset dengan melibatkan Meaningful Participation.
  5. DPR agar memastikan pembahasan RUU Perampasan Aset selaras dan sesuai agar tidak tumpang tindih dengan peraturan lainnya.

SUDAH SAATNYA DPR MENDENGAR SUARA RAKYAT

SAATNYA REFORMASI PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG 

DI MULAI DARI RUU PERAMPASAN ASET