Berangkat dari permasalahan internal kampus yang muncuk, GARDA TIPIKOR diinisiasi oleh beberapa tokoh yang sekarang telah menjadi seseorang yang luar biasa hebat, seperti Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P., Bapak Rudianto Lallo, S.H., M.H., Bapak Husni Mubarak, S.H., M.H., Bapak Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H., M.A.P., dan Bapak Abdul Gaffur I, S.H. Pada saat itu, mereka melihat kegelisahan bahwa Fakultas Hukum sebagai Kawah Candradimuka para intelektual penegak hukum masa depan yang menjadi tempat berkontemplasinya pengetahuan, justru berbanding terbalik dengan keadaan dimana saat itu muncul kasus korupsi “Unhas Besar” dan korupsi “Unhas kecil” yang menyeret berbagai pihak dan kalangan, serta terdapat pula kriminalisasi dimana saksi kunci dari perkara tersebut dijadikan “tumbal” dari perilaku koruptif dan nepotis dari segelintir elit birokrat kampus yang berkuasa dan melakukan pengaburan fakta hukum yang sebenarnya, hanya karena tendensi politik sesaat. Setelah melihat kegelisahan di dalam fakultas dan universitas, beberapa tokoh berinisiatif untuk menyatukan diri dalam sebuah organisasi perjuangan dan membentuk suatu badan atau lembaga yang bernama Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi (GARDA TIPIKOR).


Logo GARDA TIPIKOR



Pada awal terbentuknya logo tersebut, timbangan yang miring ke kiri dianggap sebagai simbol perlawanan dan bahwa keadilan yang semestinya tercipta berasal dari aparat penegak hukum yang bersih sesuai dengan teori metaforik sapu-sapu kotor yang dicetuskan Prof. Achmad Ali, yaitu penegakan hukum tidak akan berjalan jika yang menegakkannya tidak bersih dalam menjaga moral dan etika profesi.

Warna lingkaran emas yang dimaknai berbentuk bumi melingkar yang tidak akan putus diasosiasikan dengan makna perlawanan terhadap ketidakadilan akan selalu berjalan selama bumi ini masih dipijak, diharapkan bahwa gerakan ini tidak akan putus hingga akhir zaman.

Tangan kanan selalu disimbolkan sebagai tangan yang berbuat baik dan pekerja keras, sedangkan bentuk mengepal dimaknai apabila tangan tersebut terbuka maka tidak akan bisa memegang erat prinsip untuk menegakkan keadilan. Kemudian bahwa simbolisasi perlawanan tidak bisa dilakukan tanpa adanya persatuan. Gerakan sosial waktu itu berhasil karena dibantu oleh system yang baik dari para pengurus sehingga gerakan ini bisa bertahan, organisasi non-pemerintah seperti GARDA TIPIKOR adalah penyeimbang dalam tatanan sistem bermasyarakat dan bernegara.

Kasus pertama yang dikawal oleh GARDA TIPIKOR adalah kasus “Unhas Besar” dan “Unhas Kecil” yang menyangkut pengelolaan dana di pascasarjana. Ketika kita berbeda dengan orang lain (anti kemapanan), hal pasti yang mungkin terjadi adalah kita akan dimusuhi. Jika ide radikal yang kita miliki dipaksakan untuk masuk, tentunya aka nada resistensi dari orang yang nyaman atas status quo yang sudah mereka buat. 

 

Pakaian Dinas Harian GARDA TIPIKOR

Pakaian Dinas Harian (PDH) yang berwarna cokelat dicetuskan oleh Ketua Umum GARDA TIPIKOR Periode 2006-2008 yaitu Bapak Muhammad Arsyad, S.H. yang melihat bahwa eksistensi Gerakan ini harus diberi corak. Pengurus saat itu memilih warna cokelat sebagai corak dari GARDA TIPIKOR, warna cokelat sendiri mengandung makna sebagai unsur bumi atau tanah, salah satu pepatah mengatakan “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” dan dominasi warna cokelat terkesan hangat, nyaman dan aman. 



Oleh : Abdul Gaffur I, S.H.