A. SEJARAH DAN PERAN LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dan signifikan sejak masa kemerdekaan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membentuk lembaga yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
1. Era Orde Lama (1945-1965)
Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno diwarnai oleh berbagai dinamika politik dan ekonomi, termasuk upaya memberantas korupsi yang mulai merebak di tubuh pemerintahan pascakemerdekaan. Meski belum terdapat lembaga pemberantasan korupsi yang bersifat independen seperti di era berikutnya, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi dan membentuk badan-badan khusus sebagai bentuk komitmen awal dalam menangani masalah korupsi.
a. Pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (1957)
Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemberantasan Korupsi Nomor Prt/PM-06/1957 yang menjadi dasar pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution dan bertugas untuk melakukan pendataan terhadap kekayaan para pejabat negara. Langkah ini merupakan upaya awal untuk menciptakan transparansi dan menekan praktik penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan birokrasi.
b. Dikeluarkannya Perppu Nomor 26 Tahun 1960 dan Pembentukan BAPEKAN (1960)
Untuk memperkuat pengawasan administrasi pemerintahan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 26 Tahun 1960. Melalui Perppu ini, dibentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) yang bertugas mengawasi aktivitas aparatur sipil negara agar sesuai dengan prinsip administrasi yang bersih dan bebas dari korupsi.
c. Operasi Budhi (1963)
Sebagai bentuk tindakan langsung dalam pemberantasan korupsi, Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963 yang membentuk Operasi Budhi. Operasi ini bertugas menindak perusahaan dan lembaga negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam pelaksanaannya, Operasi Budhi berhasil menyelamatkan keuangan negara hingga mencapai Rp11 miliar, jumlah yang sangat besar pada masa itu. Keberhasilan ini menunjukkan adanya keseriusan dalam penegakan hukum terhadap korupsi, meskipun belum berjalan sepenuhnya sistematis.
d. Pembubaran Operasi Budhi dan Lahirnya KONTRAR
Ketika Operasi Budhi hendak menjerat Direktur Utama Pertamina, operasi tersebut mendadak dibubarkan. Pemerintah lalu menggantikannya dengan membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), lembaga baru yang diharapkan dapat melanjutkan misi pemberantasan korupsi. Sayangnya, KONTRAR tidak menunjukkan kinerja yang signifikan dan kemudian dibubarkan setelah Presiden Soekarno tidak lagi menjabat, mengakhiri babak awal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
2. Era Orde Baru (1966-1998)
Masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dikenal sebagai era stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, namun juga ditandai dengan praktik korupsi yang meluas dan mengakar kuat dalam birokrasi serta sektor-sektor strategis negara. Pemerintah memang mengambil sejumlah langkah legislasi untuk memberantas korupsi, namun lemahnya pelaksanaan dan ketiadaan lembaga independen yang efektif menyebabkan hasilnya jauh dari harapan.
a. Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya kasus korupsi, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini menjadi dasar hukum utama dalam menangani korupsi selama masa Orde Baru. Meski secara normatif cukup progresif, implementasinya di lapangan masih terbatas karena dipengaruhi oleh dominasi kekuasaan eksekutif dan lemahnya lembaga penegak hukum.
b. Korupsi Merajalela
Memasuki dekade 1980-an, korupsi semakin menjadi-jadi. Praktik penyalahgunaan kekuasaan, kolusi antara pejabat dan pengusaha, serta lemahnya sistem pengawasan membuat korupsi tumbuh subur di hampir semua lini pemerintahan. Meskipun ada wacana dan upaya untuk memperbaiki sistem, absennya lembaga independen yang memiliki kewenangan dan keberanian untuk menindak para pelaku, khususnya yang memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan, menjadi hambatan besar dalam pemberantasan korupsi. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi negara terus menurun dan korupsi dianggap sebagai bagian dari sistem yang sulit untuk dibongkar.3. Era Reformasi (1998-Sekarang)
Sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi, akuntabilitas, dan pemberantasan korupsi. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk membentuk lembaga serta kebijakan yang mampu memberantas praktik korupsi yang telah mengakar kuat.
a. Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Sebagai salah satu langkah awal dalam pemberantasan korupsi, pada tahun 1999 dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga ini bertugas untuk memeriksa dan mengawasi laporan kekayaan para penyelenggara negara guna mencegah praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di kalangan pejabat publik.
b. Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000)
Pada Mei 2000, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 yang membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini diketuai oleh hakim agung Adi Andojo S. dan merupakan bentuk sinergi antar lembaga penegak hukum untuk mempercepat penanganan kasus-kasus korupsi besar yang meresahkan masyarakat. Meskipun bersifat ad hoc, kehadiran tim ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menangani korupsi secara khusus.
c. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (2002)
Puncak dari reformasi sektor hukum ditandai dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK dibentuk sebagai lembaga negara independen yang diberi kewenangan luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lembaga ini juga memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi terhadap institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.
d. Revisi Undang-Undang KPK (2019)
Pada tahun 2019, dilakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK melalui UU Nomor 19 Tahun 2019. Revisi ini menuai banyak kritik karena dinilai melemahkan independensi dan kewenangan KPK. Beberapa perubahan signifikan antara lain adalah dibentuknya Dewan Pengawas KPK yang memiliki wewenang mengatur dan mengawasi pelaksanaan tugas KPK, serta perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Revisi ini memicu aksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang khawatir akan turunnya efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.
B. PENGATURAN LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF
Lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. Hal ini mencakup lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan yang berperan aktif dalam upaya anti-korupsi.
1. Lembaga Pemerintahan
a. Polisi
b. Jaksa
c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
2. Lembaga Non-Pemerintahan
a. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
b. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
c. Institusi Pendidikan Swasta
C. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR PEMBERANTASAN KORUPSI
Beberapa undang-undang kunci yang menjadi landasan hukum bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, di antaranya :
1. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4. UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
5. UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
D. TUGAS DAN KEWENANGAN LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang memiliki peran penting dan kewenangan spesifik dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Keberadaan lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tugas satu institusi semata, melainkan merupakan kerja kolektif lintas sektor dalam sistem peradilan pidana. Berikut empat lembaga utama yang berperan dalam pemberantasan korupsi:
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
KPK adalah lembaga negara independen yang dibentuk untuk memperkuat efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga ini memiliki kewenangan yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019). Tugas dan kewenangan utama KPK meliputi:
a. Pencegahan dan Edukasi: KPK bertugas melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Ini termasuk memberikan
edukasi, sosialisasi, dan kampanye antikorupsi kepada masyarakat dan aparatur negara.
b. Monitoring Penyelenggaraan Pemerintahan: KPK memiliki kewenangan memantau kinerja lembaga-lembaga pemerintahan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan negara dilakukan secara bersih, transparan, dan bebas dari praktik korupsi.
c. Koordinasi dan Supervisi: KPK berwenang melakukan koordinasi dengan instansi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK juga dapat melakukan supervisi terhadap prosespenyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh lembaga lain, guna memastikan kesesuaian prosedur dan efektivitas.
d. Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan: KPK memiliki kewenangan mandiri untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, tanpa harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan lembaga penegak hukum lainnya. Hal ini menjadikan KPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang secara struktural memiliki tiga fungsi hukum pidana sekaligus (trias penegakan hukum).
Dengan kewenangan ini, KPK diharapkan dapat menjalankan peran strategis dalam upaya sistematis memberantas korupsi, baik secara represif (penindakan) maupun preventif (pencegahan).
2. Kejaksaan Agung
Kejaksaan memiliki wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. Jaksa Agung memimpin upaya pemberantasan korupsi melalui unit khusus seperti Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus). Kejaksaan juga berwenang menangani kasus-kasus korupsi yang tidak ditangani oleh KPK, baik di pusat maupun di daerah, dan memiliki kekuatan untuk membawa perkara hingga ke pengadilan.
3. Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Polri, melalui Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) di Bareskrim, memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan awal kasus-kasus korupsi. Polisi bertugas menghimpun bukti permulaan yang cukup dan dapat melanjutkan proses ke tahap penyidikan. Dalam banyak kasus, Polri juga bekerja sama dengan Kejaksaan atau KPK, terutama dalam koordinasi penyelidikan dan penyidikan kasus lintas lembaga.
4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor)
Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang dibentuk berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009. Pengadilan ini bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor dibentuk untuk menciptakan sistem peradilan yang bersih, independen, dan
profesional dalam menangani perkara korupsi. Sidang di pengadilan ini dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.
E. KINERJA PENEGAK HUKUM TAHUN 2023
1. Kejaksaan Republik Indonesia
Pada tahun 2023, Kejaksaan berhasil menangani kasus-kasus korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp26,7 triliun. Penanganan ini menunjukkan arah kebijakan Kejaksaan yang berfokus pada tindak pidana korupsi yang berdampak besar terhadap perekonomian negara. Namun demikian, diperlukan upaya lebih serius dalam pemulihan kerugian negara melalui mekanisme sita eksekusi, sebagaimana terlihat dalam kasus besar seperti PT Asuransi Jiwasraya yang memerlukan evaluasi mendalam.
a. Pemetaan Aktor Korupsi oleh Kejaksaan (2023):
• Pegawai BUMN: 57 orang
• Pegawai Kementerian/Lembaga dan Badan Negara: 100 orang
• Kepala Desa: 113 orang
• Swasta: 1.315 orang
• Aparat Pemerintah Daerah: 300 orang
Meskipun jumlah tersangka dari sektor swasta dan pemerintah daerah cukup besar, Kejaksaan masih minim menangani pelaku dari kategori high profile, terutama yang memiliki kekuatan politik. Tercatat hanya satu kasus dengan irisan politik, yakni kasus Menkominfo Johny G. Plate dalam perkara korupsi BTS 4G. Selain itu, terdapat catatan belum optimalnya pengembangan perkara dalam klaster pengamanan perkara, yang semestinya bisa ditelusuri lebih lanjut oleh penyidik.
2. Kepolisian Republik Indonesia
Dalam lima tahun terakhir, penanganan tindak pidana korupsi oleh Polri terpantau mengalami stagnasi. Hal ini mengindikasikan bahwa penindakan korupsi belum menjadi prioritas utama dalam agenda penegakan hukum oleh institusi kepolisian. Selama periode tersebut, Polri berhasil mengungkap sejumlah kasus dengan potensi kerugian negara sebesar Rp960 miliar. Meskipun angka ini menunjukkan kontribusi, namun dibandingkan dengan instansi lain seperti Kejaksaan dan KPK, capaian Polri masih tergolong terbatas dan perlu ditingkatkan baik dari sisi kualitas perkara maupun nilai strategis kasus yang ditangani.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pembentukan KPK didasari oleh kondisi di mana lembaga penegak hukum sebelumnya dinilai belum efektif dan efisien dalam menangani tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, KPK hadir sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan khusus dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi, terutama terhadap aktor-aktor strategis dalam pemerintahan. Namun demikian, sejak revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 (UU No. 19 Tahun 2019), kinerja penindakan KPK mengalami penurunan yang signifikan. Salah satu indikatornya adalah tren Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kian menurun.
a. Data OTT KPK (2016–2023):
OTT sebelumnya menjadi instrumen efektif KPK untuk menjaring pelaku korupsi dari kalangan elit, seperti Ketua Mahkamah Konstitusi, Hakim Mahkamah Agung, Menteri, hingga pimpinan DPR. Namun, di era kepemimpinan Firli Bahuri, OTT tidak lagi menjadi prioritas utama sehingga berdampak pada penurunan jumlah kasus besar yang berhasil diungkap. Pada tahun 2023, KPK hanya melakukan 8 OTT dari total 48 kasus yang ditangani. Selain itu, KPK menjadi satu-satunya lembaga yang menangani tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait kasus korupsi sepanjang tahun tersebut, menunjukkan kapasitasnya dalam mengungkap pola kejahatan keuangan yang kompleks.
b. Pemetaan Aktor Korupsi oleh KPK (2023):
• 10 Kepala Daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi
• 7 Penegak Hukum juga ditangani dalam proses hukum oleh KPK
Kinerja ini menunjukkan bahwa KPK masih menjangkau aktor strategis sesuai dengan amanat Pasal 11 UU KPK, yang mengatur bahwa lembaga ini berwenang menangani kasus dengan pelaku pejabat negara, kerugian besar, atau dampak signifikan terhadap kepentingan publik.
Penulis: Awan Kurniawan
0 Komentar