Berangkat pada pemberlakuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat beberapa pasal yang kontroversial sebab diyakini merupakan langkah dalam melegalisasi korupsi pada sektor BUMN, di antaranya ialah Pasal 3X, 4B dan 9G. Berdasarkan keberadaan pasal yang kontroversial tersebut, berikut uaraian beberapa pasal pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang tumpang tindih dengan peraturan lainnya.
- Pasal 3X ayat (1) yang menyatakan bahwa Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara dan Pasal 9G yang menyatakan bahwa Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Secara normatif, pasal ini mengeluarkan seluruh jajaran dalam BUMN seperti direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas. Salah satu dampak paling nyata dari ketentuan ini adalah hilangnya kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri dalam langkah pemberantasan korupsi, sebab pada Pasal 11 Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 dijelaskan bahwasanya “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.” Dengan demikian, dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyebabkan KPK tidak bisa menangkap para jajaran dalam BUMN meskipun mereka melakukan korupsi.
- Pasal 4B yang menyatakan bahwa Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN. Pasal ini ingin menegaskan bahwa kerugian yang dialami oleh BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian keuangan negara, walaupun modal BUMN sebagian besar atau seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan kata lain, aset atau kekayaan BUMN dipandang sebagai kekayaan korporasi murni, bukan lagi sebagai bagian dari keuangan negara dalam pengertian hukum publik. Sedangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara sebagai unsur delik. Dengan adanya Pasal 4B, kerugian BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara, maka unsur pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi tidak terpenuhi, sehingga aparat penegak hukum tidak bisa lagi menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pelaku korupsi di tubuh BUMN.
Berdasarkan penjelasan diatas, Garda Tipikor mendesak:
- Mahkamah
Konstitusi untuk menerima permohonan Judicial Review, baik secara formil
maupun materiil atas pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 yang telah
diajukan dan diregistrasi dengan tujuan untuk membatalkan keberlakuan
undang-undang tersebut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Aparat
Penegak Hukum yaitu KPK, Kejaksaan dan Kepolisian tetap diberikan
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan kasus
korupsi yang melibatkan jajaran BUMN.
- Masyarakat
untuk tetap aktif terlibat dalam pengawasan dan menyuarakan penolakan
terhadap peraturan yang berpotensi melegalisasi korupsi dan melemahkan
kewenangan KPK khususnya pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2025.
Penulis: Awan Kurniawan
0 Komentar