KRISIS YANG DIMANFAATKAN, BUKAN DISELESAIKAN
Tahun 2025, dunia kembali dikepung oleh kabar gelombang baru COVID-19. Memori kelam terkait rumah sakit penuh, tenaga kesehatan kelelahan, dan rakyat yang menderita kembali menghantui. Di tengah jerit tangis rakyat yang kehilangan orang-orang tercinta, fakta pahit mencuat: kasus korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) senilai Rp319 miliar yang dilakukan oleh Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai perbuatan Budi dalam korupsi APD telah memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang yang memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara sebesar Rp319 miliar. Ironisnya, alih-alih dihukum setimpal atas pengkhianatan terhadap bangsa, Budi Sylvana hanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, jumlah yang bahkan tak setara dengan harga satu unit ventilator penyelamat nyawa.
KRONOLGI: MODUS DAN JEJARING KORUPSI
Siapa Budi Sylvana?
Budi Sylvana adalah mantan pejabat Kementerian Kesehatan yang ditunjuk sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) pengganti dalam pengadaan Alat Pelindung Diri (APD).
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bagian kesepuluh mengenai Penyedia, Pasal 17 ayat (2), PPK bertanggung jawab penuh atas:1. pelaksanaan Kontrak;2. kualitas barang/jasa;3. ketepatan perhitungan jumlah dan volume;4. ketepatan waktu penyerahan; dan5. ketepatan tempat penyerahan.
a) Awal Pengadaan APD
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan darurat tenaga medis dengan melakukan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD). Langkah ini diambil sebagai respon terhadap lonjakan kasus infeksi, keterbatasan alat kesehatan, serta meningkatnya risiko keselamatan tenaga kesehatan di lapangan. Mengingat kondisi krisis yang mendesak, pengadaan APD dibiayai melalui Dana Siap Pakai (DSP) milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang merupakan dana khusus untuk penanganan keadaan darurat dan bencana nasional. Penggunaan DSP dimaksudkan agar proses pengadaan dapat berlangsung lebih cepat dan fleksibel dibandingkan prosedur biasa, guna menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dalam waktu singkat. Namun sayangnya, kebijakan darurat ini justru dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan penyimpangan, memanipulasi proses pengadaan, dan mengeruk keuntungan pribadi dengan mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya tetap dijaga, sekalipun dalam situasi krisis.
b) Pembelian Awal dari PT PPM
b) Pembelian Awal dari PT PPM
Kementerian Kesehatan melalui Pusat Krisis Kesehatan memesan 10.000 set APD dari PT Permana Putra Mandiri (PPM) seharga Rp379.500 per set. Pengadaan ini menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dari BNPB dan bertujuan memenuhi kebutuhan mendesak tenaga medis. Meski awalnya tampak sah, pemesanan ini menjadi awal skema korupsi, saat proses selanjutnya melibatkan pihak tidak berwenang yang menaikkan harga secara tidak wajar dan merugikan negara.c) Keterlibatan PT EKI sebagai Perantara
- Dalam proses pengadaan, PT EKI masuk sebagai perantara atau penyalur bersama dengan PT PPM.
- Meskipun surat tersebut ditujukan hanya kepada PT PPM, PT EKI tetap menandatangani kontrak sebagai authorized seller untuk 500.000 set APD bersama dengan PT PPM tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK).
d) Mark Up Harga yang Terjadi
- Harga APD yang semula Rp379.500 per set membengkak hampir menjadi Rp1juta per set setelah melibatkan PT EKI. Proses yang terjadi dilakukan tanpa prosedur resmi, tanpa surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran yang lengkap.
- Budi Sylvana diperiksa oleh KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD. Ia menyatakan tidak terlibat dalam penetapan harga APD dan hanya bertindak sebagai PPK pengganti.
Akibat praktik mark up harga dalam pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), negara mengalami kerugian yang sangat besar, yakni sekitar Rp319 miliar, berdasarkan perhitungan resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Angka ini bukan sekadar statistik dalam laporan keuangan negara—tetapi mencerminkan nilai konkret yang seharusnya dapat digunakan untuk menyelamatkan ribuan nyawa dalam situasi darurat kesehatan. Kerugian ini terjadi karena harga satuan APD yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp379.500 melonjak drastis menjadi hampir Rp1 juta per set setelah melibatkan pihak ketiga yang tidak memiliki izin resmi, yaitu PT Energi Kita Indonesia (EKI). Kenaikan harga ini dilakukan tanpa dokumen pendukung, tanpa prosedur pengadaan yang sah, dan tanpa justifikasi transparan, yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan publik.
f) Penetapan Tersangka dan Penahanan
KPK menetapkan Budi Sylvana sebagai tersangka dan menahannya di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC dan tersangka Satrio Wibowo (Direktur Utama PT EKI) bersama Ahmad Taufik (Direktur Utama PT PPM) di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih selama 20 hari pertama.
g) Pemeriksaan Lanjutan
Budi Sylvana diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka mengungkap secara mendalam aliran dana yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD). Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya penegakan hukum untuk menelusuri jejak keuangan dari proyek pengadaan yang telah merugikan negara hingga Rp319 miliar. KPK tidak hanya memfokuskan pemeriksaan pada peran Budi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengganti, tetapi juga berupaya mendalami kemungkinan keterlibatan berbagai pihak lain yang turut menikmati keuntungan dari transaksi ilegal tersebut. Dalam proses tersebut, KPK menggali informasi mengenai siapa saja yang terlibat dalam penentuan harga, pemilihan mitra penyedia, hingga pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung menerima dana hasil korupsi.h) Vonis dan Hukuman
Pada Juni 2025, pengadilan memvonis Budi Sylvana dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan dan Satrio Wibowo bersama Ahmad Taufik mendapat vonis 11 tahun penjara.
FAKTA HUKUM
Tersangka Budi Sylvana membantah menerima uang dari hasil korupsi tersebut. Ia mangatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas sebagai PPK pengganti dan tidak terlibat dalam penetapan harga APD. Ia pun menyebutkan bahwa pengadaan APD dilakukan berdasarkan perintah jabatan. Namun, meskipun Budi Sylvana mengklaim hanya menjalankan perintah jabatan sebagai PPK pengganti, faktanya ia bertanggung jawab penuh berdasarkan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 17 ayat (2) menegaskan bahwa PPK bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak, termasuk ketepatan harga dan kualitas barang. Maka alasan “tidak menetapkan harga” tidak membebaskannya dari tanggung jawab hukum. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa pengadaan APD ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar. Oleh karena hal tersebut, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara, Budi Sylvana terbukti bersalah.
KORUPSI DI TENGAH KRISIS: DARAH RAKYAT YANG JADI TUMBAL
Ketika para tenaga kesehatan bertaruh nyawa di garda terdepan, Budi Sylvana dan sekutunya dengan kejam dan tanpa ampun mengubah penderitaan rakyat sebagai ladang sumber kekayaan pribadi. Dengan memainkan harga, memanipulasi proses pengadaan, dan memalsukan dokumen, mereka mengantongi keuntungan haram. Uang negara yang seharusnya menyelamatkan nyawa berubah menjadi timbunan kekayaan pribadi, lagi-lagi darah rakyat yang jadi tumbal.
HUKUMAN YANG MENGHINA AKAL SEHAT
Apakah pelaku pengkhianatan ini ditindak tegas? Tidak. Pengadilan hanya memutus penjara dan denda yang memalukan. Sementara negara rugi ratusan miliar dan jutaan rakyat menderita, pelaku berjalan keluar ruang sidang dengan kepala tegak. Hukuman ini bukan hanya terlalu ringan, ini adalah bentuk penghinaan terhadap rasa keadilan rakyat Indonesia. Bandingkan dengan kasus rakyat kecil yang mencuri sandal didenda lebih besar dari ini. Apakah nyawa rakyat sebanding dengan Rp100 juta? Hal Ini adalah buah dari sistem bobrok yang tak kunjung berubah, di mana pejabat korup tak jera dan sistem hukum justru lunak terhadap penjahat berseragam dinas. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan, protokol diabaikan, dan teori konspirasi berkembang. Korupsi adalah penyebab krisis yang jauh lebih mematikan dari virus itu sendiri.
Koruptor bukan hanya sekadar individu. Ia simbol dari kegagalan sistem, dari negara yang membiarkan rakyatnya dikorbankan demi kepentingan segelintir elite. Jika bangsa ini masih ingin bertahan dari pandemi dan bencana apa pun ke depan, maka harus dimulai dari satu hal:Menghukum Pengkhianat Rakyat Dengan Setimpal dan Menghapus Korupsi Dari Tubuh Negara. Korupsi di masa pandemi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum. Tetapi bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan tindakan keji yang membunuh rakyat secara tidak langsung. Jika negara masih punya hukum, jika keadilan masih punya tempat di republik ini, maka Budi Sylvana dan semua pengkhianat rakyat harus dihukum setimpal. Kami menolak dilupakan, kami menolak ditindas oleh sistem yang lebih membela pencuri berseragam dinas daripada nyawa rakyat.
Jika keadilan tidak datang dari pengadilan, maka keadilan akan tumbuh dari kemarahan rakyat. Jika negara tidak bisa melindungi rakyatnya dari penjahat berpakaian dinas, maka rakyat akan menjadi bentengnya sendiri. Hari ini kami menulis, besok kami bersuara, dan suatu hari nanti kami akan menuntut perhitungan.
PERNYATAAN SIKAP
- Mengutuk tindakan korupsi pengadaan APD yang dilakukan di tengah krisis kesehatan nasional.
- Menolak vonis ringan terhadap terdakwa korupsi yang telah merugikan negara dan rakyat dalam jumlah besar.
- Menuntut proses hukum yang adil, tegas, dan setimpal bagi semua pelaku korupsi di masa pandemi tanpa pengecualian.
POIN TUNTUTAN
1. Sahkan RUU Perampasan Aset Pemerintah dan DPR harus segera menghentikan permainan politik yang memperlambat pengesahan RUU Perampasan Aset tanpa kompromi apa pun demi keadilan.2. Hukuman Maksimal Bagi Pengkhianat Rakyat Dengan Setimpal
Tuntut hukuman penjara yang lebih berat dan denda yang signifikan sesuai dengan besarnya kerugian negara Rp319 miliar, agar menjadi efek jera bagi pelaku korupsi di masa depan.3. Pengembalian Kerugian Negara Secara Penuh
Mendesak agar terdakwa dan pihak terkait wajib mengembalikan seluruh kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi pengadaan APD Covid-19, termasuk keuntungan yang diperoleh secara tidak sah.4. Audit Menyeluruh di Kemenkes
Menuntut pemerintah dan KPK melakukan audit dan investigasi menyeluruh terhadap seluruh proses pengadaan alat kesehatan yang transparan dan akuntabel.5. Reformasi Sistem Pengawasan dan Penegakan Hukum
Mendesak penguatan pengawasan internal dan eksternal serta penegakan hukum yang tegas terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang dengan melibatkan masyarakat sipil dan media independen.
Jangan sebut demokrasi jika suara rakyat tak didengar, sementara koruptor duduk nyaman di kursi kekuasaan. Kami bukan hanya marah—kami sedang mencatat. Dan kami akan menagihnya, dengan suara, tulisan, dan sejarah.Apa yang bisa kita lakukan?
Korupsi saat rakyat sekarat bukan hanya merugikan keuangan negara—itu pembunuhan berjubah kebijakan.
Penulis: Andi Rahma Dwidamayanti
0 Komentar