Pengertian korupsi:

Secara etimologis, Korupsi berasal dari istilah corruptio atau corruptus dalam Bahasa Latin yang mengandung makna kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, sifat yang dapat disuap, perilaku tidak bermoral, serta penyimpangan dari nilai-nilai kesucian. Korupsi merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang diatur dalam hukum positif di Indonesia. Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar Hukum:

Di Indonesia pengaturan mengenai korupsi terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terdapat 6 poin perubahan dalam UU tersebut:

  1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 undang-undang ini;
  2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C;
  4.  Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A (penyadapan);
  5. Pasal 37 ayat (1) dan (2) di mana terdapat perubahan frasa menjadi dapat dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan dakwaan tidak terbukti;
  6. Penambahan pada Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C.

7 BENTUK KORUPSI

1)    1. Kerugian Keuangan Negara

Konsep kerugian keuangan negara mengandung arti delik formal, unsur “dapat merugikan keuangan negara” bisa berarti kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.

2)    2.Suap Menyuap

Penyuapan adalah perbuatan atau tindakan berupa pemberian sesuatu yang memberikan keuntungan kepada pihak lain dengan maksud tertentu. Biasanya agar tujuannya tercapai.

3)     3. Penggelapan dalam Jabatan

Penggelapan adalah dengan sengaja atau melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena jabatan.

4)    4. Pemerasan

Pemerasan adalah perbuatan memaksa seseorang dengan ancaman kekerasan, pencemaran nama baik, atau pengungkapan rahasia agar orang tersebut menyerahkan sesuatu (biasanya uang atau barang), memberikan hak, atau melakukan sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.

5)    5. Perbuatan curang

Perbuatan curang adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau merugikan orang lain. Biasanya, perbuatan ini dilakukan dengan cara menipu, memalsukan, atau menyembunyikan kebenaran.

6)    6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk menghadirkan barang atau jasa ini dipilih melalui proses seleksi (tender).

7)    7. Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian hadiah atau imbalan kepada seseorang sebagai bentuk apresiasi, ucapan terima kasih, atau tanda hubungan baik, tanpa selalu ada niat jahat atau tujuan tertentu.


TINDAK PIDANA LAIN DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN 2001

1)    1)   Merintangi Proses Pemeriksaan Perkara Korupsi

Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi diatur dalam Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 21 Tahun 2001 menjelaskan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi"


2)      Tersangka Tidak Memberikan Keterangan Mengenai Kekayaannya


Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya diatur dalam Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 22 Tahun 2001 menjelaskan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar" 


3)      Bank yang Tidak Memberikan Keterangan Rekening Tersangka


Bank yang Tidak Memberikan Keterangan Rekening Tersangka diatur dalam Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar"


4)      Saksi atau Ahli yang Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu


Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu diatur dalam Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar"


5) Orang yang Memegang Rahasia Jabatan, Tidak Memberikan Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu


Orang yang memegang rahasia jabatan, tidak memberikan keterangan, atau memberikan keterangan palsu diatur dalam Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa 'Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar"

6)  6) Saksi Dilarang Membuka Identitas Pelapor

      Saksi dilarang membuka identitas pelapor diatur dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa "Dalam penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor"

h


        Penulis: Muhammad Rifqy Putra Kania