Sektor pendidikan yang masih menjadi ladang korupsi dari tahun ke tahun menunjukkan adanya persoalan serius dalam pengelolaan anggaran pendidikan, baik di pemerintah daerah maupun di pemerintah pusat. Hal ini bukan hanya diakibatkan mental pelaku yang koruptif, melainkan juga karena adanya gap yang besar antara tenaga pengawas dan obyek yang diawasi. 

Terdapat berbagai persoalan yang menyumbang buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Persoalan yang kerap terjadi antara lain berkaitan dengan pengelolaan anggaran, kualitas tenaga pendidik, dan ketersediaan fasilitas belajar. Dalam konteks pengelolaan anggaran, besaran anggaran saja tak cukup, penting untuk melihat bagaimana anggaran tersebut direncanakan, diperuntukkan, dan digunakan. Permasalahannya adalah sektor pendidikan tak luput dari persoalan belanja yang tak sesuai kebutuhan prioritas hingga terjadinya korupsi. Dengan masalah-masalah ini, upaya peningkatan pelayanan pendidikan terancam berjalan lamban dan peningkatan anggaran tak banyak berdampak.

Dari 240 kasus yang terjadi, Indonesia Corruption Watch (ICW) memetakan kembali berdasarkan program atau penggunaannya. Dana Bantuan Operasional menjadi program yang paling sering dikorupsi, yakni 52 kasus. Sisanya, pembangunan infrastruktur (40 kasus), pengadaan barang dan jasa non-infrastruktur (35 kasus), dana alokasi khusus (34 kasus), hibah/bantuan sosial (14 kasus), gaji/insentif guru (14 kasus), dan dana Bantuan Operasional Pendidikan (11 kasus).

Sementara itu, terdapat 4 kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi COVID-19, yakni korupsi Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama untuk penanganan COVID-19 di pesantren dan lembaga pendidikan agama Islam di Kabupaten Pekalongan (Jawa Tengah), Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), Kabupaten Wajo (Sulsel), dan Kota Pasuruan (Jawa Timur).

Dalam pantauan ICW, terdapat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi yang telah dan sedang diproses oleh institusi penegak hukum maupun pengawas internal. Jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan mencapai Rp218,804 miliar dan nilai suap mencapai sekitar Rp1,78 miliar. Pada sisi aktor, pelaku korupsi di perguruan tinggi terdiri dari civitas akademika, pegawai pemerintah daerah dan pihak swasta.

ICW melakukan pemetaan sedikitnya 12 pola korupsi di perguruan tinggi, antara lain : Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, Korupsi dana pendidikan atau Corporate Social Responsibility (CSR), Korupsi anggaran internal perguruan tinggi, Korupsi dana penelitian, Korupsi dana beasiswa mahasiswa, Korupsi penjualan asset milik perguruan tinggi, Korupsi dana sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) mahasiswa, Suap dalam penerimaan mahasiswa baru, Suap dalam pemilihan pejabat di internal perguruan tinggi, Suap atau “jual beli” nilai, Suap terkait akreditasi (program studi atau perguruan tinggi), dan Gratifikasi mahasiswa kepada dosen.

Dampak korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merugikan keuangan negara, namun lebih luas dari pada itu dapat menyebabkan rusaknya kredibilitas penyelenggara pendidikan sebab korupsi yang terjadi tidak sejalan dengan fungsi yang dijalankan oleh perguruan tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha sistematis untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki citra perguruan tinggi yang sudah terlanjur tercemar karena praktik korupsi. Perguruan tinggi harus dikembalikan sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang bebas dari korupsi serta menghasilkan orang-orang yang berbudi pekerti luhur, bukan ladang penghasil para koruptor.

Pencegahan korupsi di perguruan tinggi tidak cukup hanya dengan menerapkan kurikulum antikorupsi, sebab hal tersebut hanya akan berakhir di ruang kelas antara mahasiswa dengan dosen pengajarnya, tidak mempengaruhi cara pengelolaan perguruan tinggi itu sendiri. Seharusnya, pencegahan korupsi harus mencakup perbaikan tata kelola yang sistematis. Prinsip ini mencakup aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sebuah lembaga. Selain itu, perlu juga dibangun zona antikorupsi (zero tolerance) di perguruan tinggi untuk mencegah merebaknya praktik korupsi yang dilakukan para civitas akademika.

KPK menyebutkan ada 4 faktor penyebab permasalahan dalam pengelolaan anggaran pendidikan, dimana ke-4 faktor ini berkontribusi dalam potensi terjadinya korupsi di perguruan tinggi, antara lain lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi (data tidak andal), adanya kekosongan pengawasan, dan lemahnya pengawasan publik atau sosial.

Dampak korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merugikan keuangan negara, namun lebih luas dari pada itu dapat menyebabkan rusaknya kredibilitas penyelenggara pendidikan sebab korupsi yang terjadi tidak sejalan dengan fungsi yang dijalankan oleh perguruan tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha sistematis untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki citra perguruan tinggi yang sudah terlanjur tercemar karena praktik korupsi. Perguruan tinggi harus dikembalikan sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang bebas dari korupsi serta menghasilkan orang-orang yang berbudi pekerti luhur, bukan ladang penghasil para koruptor.

Pencegahan korupsi di perguruan tinggi tidak cukup hanya dengan menerapkan kurikulum antikorupsi, sebab hal tersebut hanya akan berakhir di ruang kelas antara mahasiswa dengan dosen pengajarnya, tidak mempengaruhi cara pengelolaan perguruan tinggi itu sendiri. Seharusnya, pencegahan korupsi harus mencakup perbaikan tata kelola yang sistematis. Prinsip ini mencakup aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sebuah lembaga. Selain itu, perlu juga dibangun zona antikorupsi (zero tolerance) di perguruan tinggi untuk mencegah merebaknya praktik korupsi yang dilakukan para civitas akademika.

Sebagai kesimpulan, maraknya kasus korupsi di sektor pendidikan patut diliat sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Perilaku koruptif dan pemborosan anggaran yang sebenarnya terjadi juga diyakini jauh lebih masif bila dibandingkan dengan jumlah kasus yang telah ditindak oleh para aparat penegak hukum. Semakin banyak kasus yang terjadi, semakin besar kerugian negara, dan semakin suram pula layanan pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia. Terlebih lagi dunia pendidikan merupakan layanan dasar yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter dan sikap seseorang.

Dari kajian ini, peningkatan dalam penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan penting untuk dilakukan. Dalam ruang lingkup yang paling kecil, kewajiban transparansi harus dipertegas dalam pengelolaan dana perguruan tinggi. Meski kewajiban mengumumkan laporan telah ada dalam petunjuk teknis, perlu ada penegasan berupa pengecekan bahkan sanksi bagi yang tidak terbuka dalam pengelolaan dana. Penguatan peran inspektorat juga tak kalah penting, baik dalam mengawasi anggaran hingga menindaklanjuti aduan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran pendidikan dan penyalahgunaan wewenang pejabat (pungli, pemerasan, dan permintaan setoran). Beriringan dengan aspek pengawasan, peningkatan kapasitas pengelolaan anggaran penting dilakukan, khususnya kepada pihak perguruan tinggi. Dengan demikian, kesalahan penggunaan anggaran atau pelaporan dapat semakin diminimalisir.

 

 

Penulis : Muhammad Syalsyabil Ikhwan

 Referensi :

Korupsi di Sektor Pendidikan yang Meresahkan - Kompas.id

Pola-Pola Korupsi di Perguruan Tinggi | ICW (antikorupsi.org)