Menyelami & Memahami Dampak Dari
Praktik Politik Uang & Korupsi Politik
Tindak pidana politik uang atau money politics telah diatur dalam pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yaitu pada saat kampanye, masa tenang dan pemungutan suara. berikut bunyi pasalnya:
(1) setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Meskipun
telah diatur namun praktik money politics di Indonesia seakan telah
menjadi kebiasaan menjelang pemilu, tentu praktik money politics
telah mencederai demokrasi bangsa Indonesia yang bersifat kebebasan, persamaan
derajat, dan kedaulatan rakyat. Kancah perpolitikan Indonesia seakan sudah
tidak asing dengan metode suap menyuap, baik dalam bentuk uang, barang hingga
dalam bentuk jasa. Dan hal itu terjadi tidak hanya pada tingkat desa hingga
tingkat nasional sekalipun tidak luput dari praktik money politics.
Kondisi politik Indonesia tentu menggambarkan konsekuensi dari filtrasi politik
yang kita jalani hingga saat ini. Money politics yang menjadi kebiasaan
buruk kemudian menyebabkan integritas dari calon melenceng dari jalan moral
yang mencerminkan bangsa ini. Tentunya dengan niat untuk naik sebagai calon penguasa,
maka narasi yang beredar adalah “apakah cukup uang saya untuk mencalonkan?” ini
tentu adalah kebiasaan yang buruk yang telah memupuk pada bangsa ini. Memang
secara tidak langsung masyarakat kecil diuntungkan dengan pola “haram” yang
marak terjadi menjelang pemilu. Namun “keuntungan” yang diperoleh mesti dibayar
mahal oleh masyarakat umum. Para calon pemimpin tentunya memiliki kalkulasi
mereka tersendiri yang akan digelontorkan dalam pemilu. Meskipun negara ini
memiliki form demokratis (dengan adanya partai politik yang dipilih oleh
masyarakat), tetapi pengeksekusian politiknya masih belum optimal terhadap
definisi yang sesungguhnya dari demokrasi.
Terdapat
korelasi antara pemimpin yang menggunakan cara ilegal untuk dapat
terpilih “money politics” dengan praktik tindak pidana korupsi yang
terjadi selama masa kepemimpinannya “Political corruption”. Dengan kata
lain korupsi elektoral berupa politik uang merupakan cikal bakal korupsi
politik berupa penyalahgunaan kekuasaan untuk pribadi atau kelompok dan
korporasi. Dampak dari korupsi politik pun tidak main-main, birokrasi menjadi
tidak efisien, pemimpin yang korup, menguatnya plutokrasi, dan hingga
melahirkan peraturan perundang-undangan yang tidak efektif dan
hanya menguntungkan partai berkuasa, salah satu contohnya peraturan mengenai presidential
threshold
atau ambang batas presiden. Dengan peraturan ambang batas presiden ini pilihan
calon pemimpin atau presiden akan sangat terbatas dan menutup semua kemungkinan
pencalonan selain dari pada partai berkuasa. Presidential threshold atau
ambang batas itu sudah ada dari 2004, cuman ambang batas persentasenya
berubah-ubah. Pada 2004 misalnya, membutuhkan sekurang-kurangnya 15 persen
jumlah kursi DPR, dan 20 persen dari perolehan sah suara nasional. Kemudian
perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 2009, 2014, dan pada 2019. Pada 2019
sendiri aturan ambang batas diatur pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Ambang batas kemudian menjadi polemik adalah karena adanya limitasi dari hak pencalonan partai politik dan berupa syarat perolehan suara minimal dalam mencalonkan seseorang untuk menjadi calon kandidat, hal ini kemudian dimanfaatkan oleh partai politik dalam transaksi politik yang dilihat hanya beberapa partai memperoleh suara cukup untuk mencalonkan kandidat. Transaksi politik ini sudah sering dikenali dengan beragam formula yang digunakan. Kerap kali, ada narasi yang dibangun seperti “butuh uang berapa untuk kursi ini dan itu” sehingga dampak dari presidential threshold adalah adanya eksploitasi dari beragam sudut untuk memperoleh transaksi menguntungkan dari beragam pihak. Ini tentunya tidak baik bagi kandidat, melihat harus ada cost yang di spend dan dikembalikan. Bentuk pengembalian cost ini cukup sering didengar melalui “proyek dibawah meja” konsekuennya tentu terdegradasinya demokrasi kita. Dalam mengurus negara dibutuhkan integritas, maka filtrasinya harus diperkuat, baik melalui partai politik yang optimal yakni, menjadi think tank, membuat kader partai menjadi berkualitas, dan menjadi sarana ide. Jadi policial corruption lahir dengan kepentingan oligarki yang membatasi, tidak ada pembaharu atau kandidat calon yang orisinil lahir dari pertarungan yang organik (hanya itu-itu saja), dan money politics yang menjadi tradisi atau kebiasaan buruk. Ada dua setidaknya fundamen dasar yang harus dieksekusi dalam menjadi prevent terbesar dari destruktif yang terjadi;
v Perbaikan Sistem
Jika dilihat dari sistem yang telah memupuk, bahwa political corruption timbul melalui pintu sistem yang ada. Membuka pintu itu memerlukan biaya yang besar dan ‘dikapitasilasi’ oleh antek-antek partai, sehingga perlu memperbaiki pintu masuk itu dengan cara memperbaharui presidential threshold. Tidak saja itu, tetapi managing uang parpol tentunya perlu diregulasi, sehingga farming uang seperti saat ini yang sering kali terjadi (melalui proyek atau mega proyek) harus ada transparansi atau sistem mengikat dalam mengatur hal-hal yang tendensinya merusak secara konsekuen sistem demokrasi bangsa ini.
v Pencegahan Melalui Pendidikan
Tidak henti-hentinya, pendidikan adalah preventif terbesar dalam sejarah umat manusia, entah itu perbaikan secara radikal, perubahan temporer, dan perubahan secara skala besar, pendidikan selalu menjadi jawaban dari pertanyaan yang ada. Tidak saja berbentuk sosialisasi tentunya, tetapi formula korupsi dan bentuk disrupsi itu harus di aplikasikan dalam bentuk kurikulum yang ada, sehingga pencegahannya nyata dan beresonansi bagi bangsa ini.
0 Komentar