Pengertian, Dasar Hukum, Contoh Kasus, dan Solusi yang dapat diberikan


Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antar penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Singkatnya kolusi adalah persekongkolan rahasia untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara yang melawan hukum demi menguntungkan keluarga atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Jadi Nepotisme adalah suatu tindakan seseorang yang memanfaatkan jabatan atau posisi untuk mengutamakan kepentingan keluarga atau kerabat di atas kepentingan umum dengan memilih orang bukan atas dasar kemampuannya tetapi atas dasar hubungan keluarga atau kedekatan.

Kolusi dan Nepotisme diatur dalam hukum positif Indonesia berikut beberapa diantaranya:

v  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jo

v  UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

v  UU No.10 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti.

Adapun contoh praktik Kolusi dan Nepotisme yang terjadi di Indonesia sebagai berikut:

v  Contoh kasus praktik Nepotisme (Kasus Keluarga Cendana)

Pada tanggal 1 September 1998 Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana Yayasan yang dikelola oleh Soeharto, namun dugaan ini lantas dibantah oleh Soeharto pada 6 September 1998. Selanjutnya pada 29 September Kajaksaan Agung kemudian membentuk tim penyidik untuk menyelidiki kasus ini lebih dalam lagi, dan tak berselang lama BPN kemudian mengumumkan bahwa Keluarga Cendana memiliki tanah yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia. Pada tanggal 21 November 1998, Presiden BJ Habibie mengusulkan pembentukan komisi independent untuk mengusut Soeharto. Pada 7 Desember 1998 Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh Yayasan milik Soeharto yang memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hectare atas nama Keluarga Cendana. Adanya tanah luas milik keluarga Cendana dibenarkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertahanan Nasional Hasan Basri Durin. Ia mengungkapkan keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna dan hak milik, dan pada tanggal 12 Januari 1999, Tim 13 kejaksaan Agung menyimpulkan, bahwa ada indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto. 

v  Contoh kasus praktik Kolusi (Kasus E-KTP yang menjerat Setya Novanto)

Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, salah satu komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai tahun 2013. Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana. Kasus korupsi proyek e-KTP terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), Muhammad Narzaruddin. KPK kemudian mengungkap adanya kongkalingkong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012. Akibat kasus korupsi berjamaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun. Dalam perkara pokok kasus e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis bersalah. Mereka adalah Setya Novanto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto). Kemudian pengusaha Andi Naragong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan mantan anggota DPR Markus Nari.

Solusi terkait fenomena yang tejadi dapat dilakukan dengan penguatan struktur, penguatan struktur yang dimaksudkan adalah penegakan hukum yang harus lebih ditingkatkan lagi dalam lingkup masyarakat. Juga dengan peningkatan substansi hukum, dan pembiasaan hukum sebagai budaya atau budaya hukum, maksud dan tujuan dari budaya hukum ini ialah bahwa masyarakat harus selalu sadar bahwa hukum harus dijalankan bagaimana semestinya.