Majelis Hakim Mahkamah Agung kembali membuat keriuhan publik pasalnya telah menjatuhkan vonis bebas terhadap Fakhri Hilmi, mantan Kepala Departemen Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kasus Mega Korupsi Jiwasraya yang merugikan keuangan Negara senilai Rp.16,807 triliun.

Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak mengingat sebelumnya Pengadilan Tipikor di Jakarta Pusat menyatakan Fakhri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan divonis 6 tahun penjara. Putusan ini dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan meningkatkan hukuman Fakhri menjadi  8 tahun penjara.

Dalam Putusan Kasasi bernomor 1052 K/Pid.Sus/2022, Majelis Kasasi yang dipimpin Desnayeti ketua majelis, serta Soesilo, dan Agus Yunianto yang masing-masing sebagai hakim anggota menyatakan dalam amar putusannya bahwa terdakwa Fakhri Hilmi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.  

Majelis kasasi berdalih Fakhri Hilmi menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) berdasarkan peraturan OJK Nomor 12/PDK.02/2014. 

Namun, ada hal menarik dalam kasus ini, dimana adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari Hakim ad hoc, Agus Yuniarto. Menurut Agus, Fakhri terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara ini. 

Berikut Kronologi Kasus Yang Menjerat Fakhri Hilmi

- Kasus ini bermula dari Investasi PT. Asuransi Jiwasraya berupa saham dan reksadana periode 2014-2018 yang dikelola 13 perusahaan manager investasi (MI) dengan harga pembelian reksadana  12,704 triliun sesuai LHP PKN dan BPK.

- Fakhri Hilmi selaku Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A ditunjuk sebagai pengawas perdagangan saham dan reksadana periode 2014-2017.

- Dalam produk-produk reksadana yang tersebut, portofolionya berupa saham-saham yang harganya sudah dinaikkan secara signifikan atau markup oleh tersangka lainnya Heru Hidayat dan Benny Tjokro yaitu IIKP, PPRO, SMBR, TRAM, SMRU, MYRX, ARMY, BTEK, LCGP, RIMO, POOL, SUGI, BJBR.

- Pada tahun 2016, Fakhri Hilmi mengetahui adanya penyimpangan transaksi saham PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP) yang harga sahamnya sudah dimarkup oleh grup Heru Hidayat yang dijadikan portofolio (isi) reksadana 13 MI yang penyertaan modal terbesar adalah PT AJS. 

- Selain itu, Tim Pengawas DPTE juga telah melaporkan adanya penyimpangan terkait transaksi saham itu merupakan tindak pidana pasar modal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 (UUPM).

- Fakhri Hilmi yang mengetahui hal tersebut tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap produk reksadana dimaksud, karena sebelumnya Fakhri Hilmi telah ada kesepakatan dengan Erry Firmansyah dan Joko Hartono Tirto yang terafiliasi Heru Hidayat untuk melakukan beberapa kali pertemuan yang bertujuan untuk tidak menjatuhkan sanksi pembekuan kegiatan usaha kepada 13 Mi.

- Akibat ketidaktegasan Fakhri Hilmi selaku pengawas dalam memberikan sanksi terhadap para pelaku menyebabkan negara mengalami kerugian hingga Rp16,81 triliun. 

Menyikapi putusan tersebut, Kejaksaan Agung selaku pihak penuntut umum seyogyanya tidak tinggal diam dan segera melakukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) terhadap vonis bebas yang dijatuhkan oleh MA terhadap Fakhri Hilmi mengingat kasus ini sangat destruktif dan sangat merugikan keuangan negara. dissenting opinion dari hakim ad hoc kiranya dapat menjadi landasan JPU dalam mengajukan PK agar keadilan dalam kasus ini dapat ditegakkan setegak-tegaknya. Salam Pejuang Anti Korupsi!