Kasus korupsi yang menjerat Nurhayati, Bendahara atau Kaur Keuangan Desa Cilemu, Kabupaten Cirebon kini berpeluang untuk dilakukan penghentian. Hal ini tentunya sangat menggembirakan karena Nurhayati sendiri merupakan seorang saksi kunci yang memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus  korupsi yang dilakukan oleh Supriyadi Kepala Desa Citemu terkait Angaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Citemu tahun anggaran 2018-2020 yang ditaksir merugikan keuangan negara seniai Rp. 800 Juta. Malangnya dalam kasus ini, Nurhayati ikut dijerat akibat ketidaksengajaan dari pihak Polres Cirebon dalam menetapkannya sebagai tersangka.

Kasus ini sempat menimbulkan keriuhan di masyarakat, sederet pihak banyak yang menyoroti serta menyayangkan penersangkaan Nurhayati ini karena dinilai sangat janggal. Alhasil berbagai pihak seperti LPSK, KPK, dan Bareskrim Polri harus turun tangan untuk mengusut lebih lanjut kasus ini. Kepala Bareskrim Polri Agus Andrianto menyebut bahwa bahwa ada unsur ketidaksengajaan dalam penetapan Nurhayati sebagai tersangka. Maka dari itu, pihaknya berencana menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Nurhayati. Wacana tersebut diperkuat dengan gelar perkara yang dilakukan Biro Wassidik Bareskrim Polri yang hasilnya tidak menemukan cukup bukti sehingga pelimpahan berkas tahap 2 ke Kejakasaan urung dilaksanakan.

Terkait dengan wacana tersebut, tentunya menarik untuk melihat lebih jauh apakah dalam kasus ini dapat dilakukan SP3, dan bagaimana sistem hukum pidana kita memandang persoalan tersebut.

Mengacu pada pasal 109 ayat (2) KUHAP menjelaskan bahwa:

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”

Secara hukum pihak Kepolisian selaku penyidik berwenang melakukan SP3 terhadap kasus Nurhayati sebagaimana ketentuan diatas, namun yang menjadi persoalan kini adalah berkas perkara kasus tersebut sudah dinyatakan lengkap atau P21 sehingga dapat dilanjutkan ke tingkat penuntutan oleh penuntut umum.

Sejak awal pihak Polres Cirebon memang terkesan terburu-buru dan cenderung diskrimnatif dalam mentersangkakan Nurhayati. Pihak Polres Cirebon waktu itu berdalih telah mengantongi 2 alat bukti permulaan yang cukup untuk mentersangkakan Nurhayati. Pihak Polres Cirebon kurang cermat dalam melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Seyogyianya, seorang saksi, tidak dapat dijatuhi tuntutan pidana sampai kasus yang ia berikan kesaksian itu telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht) sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Ini tentunya merupakan rapor merah bagi pihak Kepolisian lantaran dalam proses penyidikannya sama sekali tidak memperhatikan hak dari Nurhayati selaku saksi, padalah kesaksian sendiri merupakan alat bukti utama dalam perkara pidana sehingga dalam pengumpulannya tersebut haruslah dilakukan secara cermat dan memperhatikan hak dari saksi itu sendiri. Maka wajar saja jika saksi dilindungi dalam suatu Undang-undang tersendiri.

Terlepas dari anomali yang terjadi, harapan kini berada ditangan pihak Kejaksaan, pasalnya berkas perkara kini sudah P21, sehingga dalam penghentian kasus ini sudah menjadi domain dari pihak Kejaksaan. Dalam pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP berbunyi:

“Dalam hal Penuntut Umum  memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dapat dihentikan demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, pihak Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKP2) terhadap kasus Nurhayati. Hal ini sangat dimungkinkan Karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada kesalahan dalam penetapan Nurhayati sebagai tersangka. Haknya sebagai saksi sebagimana di pasal 10 ayat (2) UU perlindugan saksi dan korban dilanggar. Kiranya dengan memperhatikan hak tersebut, Penuntut umum dapat menghentikan kasus ini demi hukum.

Selain penerbitan SKP2, ada mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh pihak Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung sebagaimana yang diatur pada Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi:

“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Ketentuan di atas secara istilah disebut Deponering, yang mana merupakan diskresi Jaksa Agung untuk mengenyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Jika dikontekskan dengan kasus ini, kepentingan umum disini berkaitan erat dengan bagaimana reaksi publik dalam menyoroti kasus Nurhayati yang dirasa sangat tidak adil dan dan diskriminatif, tentunya masyarakat menginginkan penegakan hukum yang adil dan manusiawi. Perlu digarisbawahi bahwasanya Deponering hanya dimiliki oleh Jaksa Agung, sehingga kewenangan ini tidak dimiliki oleh Kejaksaan Negeri sebagaimana penerbitan SKP2.

Melihat sekelumit persoalan tersebut, Kita sebagai masyarakat Indonesia tentunya berharap agar kasus Nurhayati ini dapat segera dihentikan dan Nurhayati segera mendapatkan keadilan. Kasus ini seolah membuka mata kita  bahwa Sistem hukum yang berjalan hari ini begitu semrawut, kompetensi Aparat Penegak Hukum yang rendah seolah menjadi corak tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejatinya memperjuangkan kebenaran seperti yang dilakukan Nurhayati bukanlah perkara mudah, ibarat Roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan Juliet yang ditakdirkan berpasangan, demikian pula dengan segala bentuk perlawanan terhadap kebatilan yang tentuya akan selalu disertai dengan tantangan dan hambatan yang berat. Namun hal ini tidak boleh menyurutkan semangat kita sebagai iron stock dalam memperjuangkan nilai-nilai Kebenaran. Korupsi harus selalu dilawan demi masa depan Indonesia yang lebih cerah, Jangan pernah takut melaporkan tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan sekitar kita karena pada dasarnya kita semua adalah Pejuang Anti Korupsi. Panjang umur semua hal-hal baik.