APA ITU FEODALISME?
Istilah feodalisme mungkin tidak terlalu banyak diketahui. Dibandingkan dengan feodalisme,
masyarakat mungkin lebih mengenal tentang kapitalisme. Istilah feodalisme ini terkenal
berkembang di wilayah Eropa pada abad pertengahan.

Kata “feodal” berasal dari bahasa Latin “feudum” yang artinya sama dengan fief, yaitu
sebidang tanah yang diberikan yang bersifat sementara kepada seorang vassal (penguasa
bawahan atau pemimpin militer) sebagai wujud imbalan atas pelayanan yang diberikan
kepada penguasa (lord) sebagai pemilik tanah tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang
memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Definisi lain dari
feodalisme adalah sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.

Yang dimaksud dengan Feodalisme merupakan sistem sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Dengan demikian, raja adalah yang
menentukan ke arah mana kerajaan akan bergulir. Praktik feodalisme ini cukup berkembang
pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, terutama di Jawa. Pengkastaan dalam
masyarakat membuat hubungan feodalistik semakin menguat. Feodalisme menjamin
stabilitas politik yang dibutuhkan seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya.

Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah
dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan
memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan
tanah, sehingga muncul istilah “masyarakat feodal”. Karena penggunaan istilah feodalisme
semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang
dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa
kualifikasi yang jelas.

Dalam pengertian yang sebenarnya, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem
politik di Eropa pada abad pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas
bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau,
dalam bahasa latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord). Mulai
tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula
aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga
muncul istilah “masyarakat feodal”.

Dalam sistem feodalisme, produksi dilakukan oleh kaum tani dan digunakan untuk
mencukupi kebutuhan keluarga dan membayar sewa tanah terhadap tuan tanah yang
menguasai tanah di mana dia bekerja. Kerja produksi yang dilakukan mempunyai nilai guna.
Kelebihan dari hasil produksi yang telah dikonsumsi oleh keluarga atau untuk membayar
sewa tanah, baru dijual ke pasar untuk mendapatkan barang kebutuhan yang tidak dapat
diproduksi sendiri. Para tuan tanah akan mendapatkan bagian yang besar dari pembayaran
sewa tanah hasil produk lebih (surplus product) yang dibayarkan oleh kaum tani. Di samping
kaum tani, terdapat juga para perajin yang memproduksi barang konsumsi untuk dijual ke

pasar, namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dia juga berproduksi di tanah. Dan bagi
kaum perajin yang tinggal di kota atau pusat perputaran barang produksi masih
menggantungkan kebutuhan hidupnya terutama bahan pangan dari pedesaan.Komunitas

masyarakat dalam sistem ini bersifat mandiri secara relatif. Karena sebagian besar
masyarakat berproduksi secara independen dengan teknologi produksi yang terbelakang dan
dihisap oleh
segilintir elemen dalam masyarakat yaitu kelas tuan tanah.
BAGAIMANA PERKEMBANGAN PAHAM FEODALISME DALAM MELAHIRKAN
PERILAKU KORUPTIF?

Praktik korupsi begitu masif terjadi di Indonesia. Tidak hanya terjadi pada lembaga-lembaga
eksekutif, melainkan juga terjadi dalam lembaga legislatif dan yudikatif. Korupsi yang
semula hanya terjadi pada kalangan birokrasi, sekarang ini lingkaran setan korupsi politik
juga melibatkan partai politik, politisi, kroni bisnis, hingga aparat penegak hukum. Tanda
korupsi yang melanda berbagai institusi penegak hukum memberikan sinyal kuat betapa
mentalitas korup dimiliki oleh setiap orang yang memiliki kekuasaan di dalamnya.
Kekuasaan dalam konteks ini adalah kekuasaan kewenangan dalam bidang apapun terkait
dengan pelayanan publik.

Ciri lainnya adalah terjadinya persekongkolan antara penguasa dengan pengusaha dalam
tindakan korupsi. Persekongkolan birokrat dengan korporat tersebut terutama dalam rangka
memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang merugikan negara. Negara dalam tipologi
demikian umumnya lebih mengandalkan pembiayaan negara pada sumber daya alam yang
dieksploitasi secara tidak terkendali, yang orientasinya lebih memakmurkan birokrat yang
korup dan korporasi mitranya daripada kemakmuran rakyatnya (Muhammad

Mustofa 2010: viii).

Persekongkolan penguasa dengan pengusaha memang memberikan peluang bagi selalu

terjadinya perilaku koruptif. Persekongkolan ini jelas merupakan kerjasama „jahat‟

karena merugikan keuangan negara. Hubungan antara birokrat dengan korporat

lazimnya disebut sebagai „perselingkuhan‟, yakni sebuah hubungan tidak normal dari

dua hal yang tidak sama. Karena logika korporat adalah logika keuntungan, sedangkan

logika birokrat adalah logika kepentingan pengabdian pada publik. Ketika birokrasi dan

korporat menjalin hubungan tidak normal, maka logika pengabdian pada pelayanan

publik seringkali terkalahkan dari orientasi mendapatkan keuntungan pribadi.

Perspektif inilah yang kemudian menguatkan suatu tesis bahwa penguasa (birokrat)

dengan pengusaha (korporat) haruslah dua kekuatan yang harus dipisahkan. Bersatunya

dua kekuatan tersebut menjadikan negara mudah dikendalikan oleh kekuatan birokratik

dengan langgam korporasi yang bukan untuk menguntungkan negara, melainkan

menguntungkan formasi kekuasaan politiknya. Teori klasik dari kalangan Marxis

(Suseno 1996) menunjukkan suatu kecenderungan kuat perilaku koruptif mudah terjadibagi penguasa yang dikuasai oleh pengusaha, apalagi ketika penguasa sekaligus dengan
sendirinya adalah pengusaha. Naluri dasar manusia biasanya mudah tergoda dengan
simbol-simbol material, termasuk di dalamnya adalah naluri penguasa. Itulah sebabnya,
mengapa kekuasaan dalam berbagai bentuk pemerintahan, selalu dibatasi agar tidak
menjadi absolut dan tidak terkendali.
 
(Disusun Oleh Kelompok 3 FGD Garda Intellectual Forum 2021)