Porak-Poranda di Hantam "Tsunami Oligarki"
Illustrator : Toni Malakian
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan terhadap tujuh perkara gugatan yang dilayangkan sejumlah pihak terkait revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang meliputi gugatan uji formil dan uji materiil. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021).
Hakim MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terkait penyadapan dan penggeledahan harus seizin Dewan Pengawas (Dewas). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 12 B, Pasal 37B Ayat 1 Huruf b, dan Pasal 47 Ayat 2 UU KPK Nomor 19/2019. Hakim berpendapat, ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945 dan mengubah ketentuan dalam tiga pasal itu, sehingga penyadapan hanya perlu dilaporkan ke Dewas KPK paling lambat 14 hari setelah dilakukan. Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK dan diberitahukan ke Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan. Hakim MK sisanya menolak semua permohonan uji formil dan materiil terhadap Revisi UU KPK.
Pasca putusan MK ini, terlihat bahwa kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berada di titik nadir. Sebelum putusan ini, KPK memang sudah memproduksi banyak masalah,berbagai kebijakan kontroversial Pimpinan KPK yang bahkan menonaktifkan puluhan penyidik terbaik KPK. Tes wawasan kebangsaan yang substansi pertanyaannya absurd, irasional, dan tidak relevan, seolah-olah dijadikan kamuflase untuk mengebiri para prajurit yang selama ini dianggap sebagai simbol dari KPK. Belum lagi problem SP-3, Runtuhnya independensi lembaga akibat alih status pegawai menjadi ASN yang Jika ditelusuri ulang historical background hadirnya KPK, berangkat dari menurunnya kepercayaan publik kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan, maka dibutuhkan lembaga Independen sebagai konklusi atas persoalan tersebut. Jika semua sudah diratakan menjadi ASN, secara gamblang, tidakada lagi penyidik independen. Alih status pegawai KPK ini dinilai dapat berpotensi memunculkan konflik kepentingan saat menangani perkara. Peralihan menjadi ASN akan membuka celah tergerusnya independensi personel lembaga antirasuah, khususnya ketika menangani perkara yang melibatkan anggota kepolisian. Nasib "anak kandung reformasi" Jelas telah berada di ujung tanduk
"Tsunami oligarki" Jelas telah membuat KPK dalam kondisi sekarat. Presiden RI, DPR RI, MK, dan Pimpinan KPK merupakan aktor-aktor yang mesti dimintai pertanggung jawaban atas pelemahan KPK.
1. Jokowi yang diawal mempersilahkan seorang pelanggar etik menjadi ketua KPK dan kebijakan politiknya yang sama sekali tidak memperlihatkan niatan pemberantasan korupsi malah cenderung lebih banyak mengarah ke investasi ekonomi.
2. DPR-RI yang secara terang-benderang getol ingin merevisi UU KPK. Terlihat disorientasi penguatan pemberantasan korupsi, RUU Tipikor, RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal seharusnya menjadi prioritas malah tidak dilirik. Sebaliknya RUU KPK, RUU MK, Omnibus Law Cipta Kerja buru-buru dituntaskan.
3. MK telah gagal dalam menjalankan mandatnya sebagai the guardians of Constitution. Pasalnya putusan MK dianggap berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan oleh publik. Dan ketika di crosscheck putusan-putusan sebelumnya, terlihat inkonsistensi sekaligus pertentangan dengan putusannya atas UU KPK No. 19 Tahun 2019, terkait point independensi dan SP-3.
4. Ketua KPK Firli Bahuri wajib masuk list aktor yang mesti bertanggung jawab setelah mengeluarkan SK Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Ironisnya yang diberhentikan merupakan pentolan-pentolan yang telah banyak menangani perkara korupsi kelas kakap. Konsekuensi logis atas pemberhentian 75 pegawai KPK tersebut adalah terhambatnya pengusutan perkara besar, mulai dari bansos, E-KTP, Suap Pajak, Ekspor benih lobster, dll.
Dari sekelumit persoalan yang menghinggapi tubuh KPK saat ini, timbul narasi bahwa inilah akhir kisah dari anak kandung reformasi, keistimewaan yang dahulu dimilikinya kini satu per satu rontok terkoyak-koyak oleh ketamakan 'bandit' yang berada dalam lingkar kekuasaan. Sehingga wajar ketika eksistensi KPK mulai dipertanyakan, apakah pantas dipertahankan ataukah sudah selayaknya untuk dibubarkan.
Olehnya itu Garda Tipikor FH-UH melalui fungsi Penindakan yang dimiliki dengan ini Menyatakan bahwa :
1. Meminta pertanggungjawaban penuh Presiden Joko Widodo dan DPR RI atas berbagai permasalahan yang terjadi dalam tubuh KPK saat ini !
2. Mengecam Putusan MK atas UU KPK dan mempertanyakan keberpihakan MK terhadap penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia !
3. Mendesak Ketua KPK, Firli Bahuri untuk mencabut Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang berisi Penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tak lolos asesman TWK yang sejatinya sangatlah absurd dan syarat akan upaya penyingkiran terhadap 75 pegawai KPK yang berintegritas, memiliki kinerja dan komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi!
4. Mendesak Ketua KPK Firli Bahuri agar segera mundur dari jabatan komisioner KPK atas kegaduhan dan upaya pelemahan KPK serta berbagai pelanggaran kode etik yang telah dilakukan !
Garda Tipikor Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
0 Komentar