SENJAKALA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

(POLEMIK SP3 KASUS BLBI)

Dunia antirasuah tanah air dikejutkan dengan tinta hitam yang baru saja digoreskan dalam sejarah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus kakap korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dinyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disingkat SP3. Keputusan menetapkan kasus BLBI dengan SP3 adalah pertama yang dikeluarkan KPK. Sejak KPK berdiri tahun 2003, belum ada SP3 yang dikeluarkan, namun kasus BLBI menjadi SP3 pertama dari KPK.

Hal ini sekali lagi mempertegas bahwa UU KPK hasil revisi perlahan namun pasti telah mempreteli sekaligus mengebiri KPK, membuat tumpul segala aspek, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 40 UU KPK terbaru dijadikan ‘kedok’  untuk menghentikan kasus korupsi kelas kakap ini. Teriring rasa Terima kasih sekaligus selamat dan sukses besar bagi pemerintah Jokowi yang mengusulkan revisi UU KPK yang disetujui DPR juga parpol-parpol yang bersangkutan. Rasa keadilan rakyat telah tercabik-cabik atas nama Undang-Undang KPK hasil revisi usulan Tuan presiden.

Menyelisik Historical Background keluarnya SP3 untuk kasus ini berawal ketika Mahkamah Agung memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung. Syafruddin Arsyad Tumenggung adalah mantan Kepala BPPN yang awalnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ia diduga menerbitkan Surat Keterangan Lunas atau SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia. Syafruddin dihukum 15 tahun di pengadilan tingkat banding. Namun, Mahkamah Agung melepasnya di tingkat kasasi. KPK sempat mengajukan Peninjauan Kembali vonis lepas Syafruddin ke MA pada 17 Desember 2019. Namun, MA menolak upaya hukum luar biasa tersebut pada Juli 2020. Sehingga, KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus BLBI atas Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

Putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap Syafruddin jelas keliru dan diwarnai kontroversi. Sebab, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat Syafruddin bukan merupakan perbuatan pidana. Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan Syafruddin ditolak oleh pengadilan negeri. Pasalnya, waktu mengajukan permohonan praperadilan, Syafruddin melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.

Hal lain yang menjadi persoalan tatkala KPK mengalihkan Fokus ke Syamsul dan Istrinya tapi tak kunjung ditemukan keberadaannya. Tercatat mereka menjadi buron sejak 30 September 2019, artinya sudah lebih dari setahun. Ketika itu KPK sudah berusaha mengirim surat panggilan baik ke alamat di Indonesia maupun Singapura, tapi tidak mendapat jawaban. Bahkan KPK juga meminta tolong Kantor KBRI Singapura untuk memasang info di papan pengumuman. Pada akhirnya SP3 untuk kasus BLBI dikeluarkan pada 1 April 2021. Ini juga menjadi catatan penting bahwa singapura tak hanya menarik sebagai tujuan warga Indonesia untuk berlibur dan berbelanja, tapi juga menjadi destinasi favorit untuk pelarian bagi buronan Indonesia. Beberapa kendala-kendala diplomatis menjadikan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura Tak kunjung diratifikasi oleh DPR-RI.

Terlepas dari itu, keputusan menerbitkan SP3 ini telah nyata menggadaikan janji pimpinan KPK terdahulu untuk mengusut tuntas kerugian keuangan negara dalam kasus ini. Kerugian negara sebanyak Rp 4,58 triliun akibat tindàkan Sjamsul Nursalim tapi KPK belum lakukan the best thing yang seharusnya dilakukan, bahkan terkesan to do nothing.

Maka dari itu, Sebagai bentuk Manifestasi Fungsi Penindakan Garda Tipikor, kami menyatakan  :

1.      1. Kekecewaan terhadap SP3 yang dikeluarkan oleh KPK pada kasus BLBI.

2.  2. Menagih Janji KPK untuk mengusut tuntas kerugian keuangan Negara dalam kasus ini dengan melaksanakan pasal 32 UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

3.    3. Mendesak Mahkamah Konstitusi Agar Mengabulkan Permohonan Uji Formil UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.