NO KASASI NO PARTY !

Sumber Gambar: JawaPos.com

Sungguh pekan-pekan yang menjengkelkan bagi rakyat Indonesia. Rakyat berkali-kali dibuat sakit akibat parasit yang lahir dari arogansi 'bandit'. Belum redah badai perdebatan mengenai kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan dan segala hal yang berkaitan dengan upaya pelamahan KPK. Kini, kita kembali diusik oleh putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta yang menyunat vonis Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung. (Senin 14 Juni 2021).


Obral diskon sampai 60 persen oleh peradilan banding sungguh mengusik ketidakadilan publik. Bagaimana tidak, saat melakukan kejahatan Pinangki masih menyandang status Jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Seharusnya hal tersebut menjadi dasar utama pemberat hukuman. Pinangki juga melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. 


Hakim berdalih mengurangi hukuman karena Pinangki selaku terdakwa sudah mengaku bersalah, menyesal, dan mengikhlaskan diri dipecat sebagai jaksa; terdakwa adalah ibu dari anak balita (bayi di bawah lima tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh anak dan memberi kasih sayang kepada anaknya. Sungguh dalih yang mencederai akal sehat publik. Jika menyelisik kebelakang, masih hangat diingatan betapa berbelit-belitnya pinangki pada saat pengadilan tingkat pertama, pinangki seolah menyimpan rapat siapa yang dimaksud dengan “King Maker”. Karena itu, Majelis Hakim memperberat hukuman Pinangki menjadi sepuluh tahun. Kemudian alasan berikutnya majelis hakim meringankan hukuman Pinangki karena memiliki anak balita juga tidak adil terhadap terdakwa perempuan dalam kasus-kasus lain. Sehingga bertentangan dengan asas equality before the law. 


Kompleksitas persoalan diatas semakin memperjelas ketidakberpihakan lembaga kehakiman terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini didukung oleh data dari ICW, angka penuntutan rata-rata kepada 1.298 terdakwa korupsi sepanjang 2020 berada di angka 4 tahun 1 bulan. Tidak hanya itu, angka tuntutan di Indonesia masih ringan karena mayoritas dituntut ringan, yakni 736 terdakwa. Sementara itu, sisanya sekitar 512 orang dituntut sedang dan 36 dituntut berat.


Di samping ringannya tuntutan, tren vonis pada putusan masih dinilai rendah. Berdasarkan catatan ICW, putusan rata-rata untuk terdakwa korupsi adalah 3 tahun 1 bulan setelah merata-rata dari total 1.219 perkara korupsi yang disidangkan.


Oleh sebab itu, sebagai bentuk manifestasi fungsi penindakan garda tipikor, kami menyatakan :

1. Mengecam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong vonis Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara ! 

2. Mendesak JPU menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan segera mengajukan permohonan kasasi ! 

3. Meminta Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas vonis hukuman Pinangki Sirna Malasari !