LEGAL OPINION
Menteri Tercapit Korupsi
Penyusun: Syahril Hidayat dan Adhdhohir Agustana Putra
KASUS POSISI
• Kasus ini bermula pada 14 Mei 2020 ketika Menteri KKP Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Edhy pun menunjuk Staf Khusus Menteri Andreau Pribadi Misata (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Staf Khusus Menteri Safri selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.
• Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito datang ke lantai 16 kantor KKP dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp1800/ekor. Hal ini merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin (AM) dengan Andreau Pribadi dan Siswadi selaku Pengurus ACK. Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731,57 juta. Selanjutnya PT DPP atas arahan Edhy Prabowo melalui Tim Uji Tuntas (Due Diligence) memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK.
• Berdasarkan data kepemilikan terdaftar pemilik PT ACK terdiri adalah Amri dan Ahmad Bahtiar (ABT). Namun keduanya diduga hanyalah merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja. Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya di tarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar.
• Selanjutnya pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, Staf istri Menteri KKP Iis Rosita Dewi. Jumlahnya sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, Istrinya dan Andreau Pribadi Misanta.
• Sebagian uang tersebut dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy Prabowo dan Istri di Honolulu AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta. Barang yang dibelanjakan antara lain Jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.
• Di samping itu pada sekitar bulan Mei 2020, Edhy Prabowo juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari Suhajito melalui Safri dan Amiril Mukminin.
• Selain itu, Safri dan Andreau Pribadi pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp 436 juta dari Ainul Faqih.
• Pada tanggal 21 November sampai 23 November 2020 KPK menerima informasi adanya dugaan penerimaan uang oleh penyelenggara negara. Selanjutnya, KPK kembali menerima informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana untuk kepentingan penyelenggara negara dalam hal pembelian barang di luar wilayah Indonesia.
• Selanjutnya pada Selasa 24 November 2020, KPK bergerak dan menjadi beberapa tim di area Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Depok, dan Bekasi untuk Menindaklanjuti adanya informasi dimaksud, kemudian pada sekitar pukul 00.30 WIB tim langsung melakukan pengamanan di beberapa lokasi.
• Selanjutnya, para tersangka langsung digelandang ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lebih lanjut.
PERMASALAHAN HUKUM
1. Bagaimana kasus ekspor benih lobster jika dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana langkah hukum yang bisa ditempuh oleh penegak hukum terhadap kasus tersebut?
BAHAN HUKUM
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan legal opinion ini adalah bahan hukum primer. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang diperoleh berdasarkan analisis dan studi literatur terhadap berbagai ketentuan hukum dan peraruran perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, diantaranya;
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Peberantasan Korupsi
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 12/Permen-Kp/2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia
ANALISIS HUKUM
Kasus ekspor benih lobster jika dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Loster merupakan salah satu kekayaan alam yang terdapat di laut, sehingga seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang saja, terutama para eksportir. Dalam kasus Edhy Prabowo ini, ekspor benih lobster dipergunakan oleh para ekpsortir, dan izin ini diberikan oleh Edhy Prabowo sendiri selaku menteri kelautan dan perikanan. Didalam penyelenggaraan ekspor benih lobster ini, ada beberapa indikasi yang menyatakan bahwa adanya pelanggaran hukum berupa penyuapan tentang pemberian izin kepada PT Dua Putra Perkasa (PT DPP). Penyuapan ini diduga diberikan oleh PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) dan sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 5 ayat (1) huruf a atau b yang berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang; memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”. Sehingga PT DPP melanggar ketentuan tersebut.
Menteri kelautan dan perikanan, Edhy Prabowo bersama Staf Khusus Menteri Andreau Pribadi Misata (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Staf Khusus Menteri Safri selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas telah bersalah karena telah menerima pemberian uang Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12 ayat (1) huruf a atau b yang berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo juga telah melanggar permen kkp nomor 12 tahun 2020 pada Pasal 5 ayat (1) huruf c yang berbunyi “Pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan Harmonized System Code 0306.31.10 dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang ditunjukkan dengan: 1) sudah panen secara berkelanjutan; dan 2) telah melepasliarkan Lobster (Panulirus spp.) sebanyak 2 (dua) persen dari hasil Pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen; karena PT DPP belum melakukan panen secara berkelanjutan dan patut diduga bahwa PT DPP tidak melepasliarkan lobster yang dimilikinya sebanyak 2 persen dari hasil Pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen.
Langkah hukum yang dapat ditempuh
Langkah hukum yang bisa ditempuh oleh pengak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi adalah menuntut para pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi benih lobster ini dengan menggunakan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12 ayat (1) huruf a atau b dan pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, karena sesuai dengan bunyi pasal 6 huruf e Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Korupsi, menyatakan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan; penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi”.
KESIMPULAN
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa pula. KPK tidak boleh pandang bulu terhadap para pelaku korupsi walaupun si pelaku merupakan pejabat negara. Pemerintah pun seharusnya berhati-hati dalam hal mengangkat pejabat negara, pejabat yang diangkat harus dari kalangan professional, bukan hanya berdasarkan relasi politik saja.
Sumber referensi:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201126010012-4-204719/modus-kronologi-lengkap-dugaan-korupsi-edhy-prabowo-dkk diakses pada 16 Desember 2020.
https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-terungkapnya-kasus-suap-dan-penangkapan-menteri-kkp-edhy-prabowo.html diakses pada 16 Desember 2020.
0 Komentar