image source: news.detik.com

Omnibus Law Cipta Kerja, RUU yang sejak diajukan Pemerintah kepada DPR RI telah mendapatkan banyak protes dari berbagai pihak terutama kaum buruh dan mahasiswa. Polemik kembali memanas lantaran DPR RI dan Pemerintah menggelar rapat perdana pembahasan RUU tersebut pada bulan April kemarin, padahal dunia termasuk Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19 dan seharusnya Pemerintah berfokus mengatasi pandemi tersebut.

Berbagai masalah yang timbul akibat Omnibus Law ini sudah terjadi sejak proses pembentukannya, seperti tidak dijalankannya asas keterbukaan sesuai pasal 5 huruf g UU No.15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.

Dapat dilihat dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia www.ekon.go.id, yang baru meng-upload draft RUU dan Naskah Akademiknya pada 7 Mei 2020 padahal rapat perdana pembahasan RUU tersebut telah dilakukan sejak 14 April 2020. Juga pada proses pembentukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak melibatkan masyarakat terutama kaum buruh yang menjadi subyek terdampak apabila RUU ini disahkan terutama pada Klaster Ketenagakerjaan, hal ini sangat bertentangan dengan pasal 96 ayat (1) UU No.15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Maka apabila RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini disahkan akan cacat prosedural atau cacat formal sehingga memiliki implikasi hukum yang mengakibatkan undang-undang tersebut batal demi hukum, sehingga undang-undang tersebut dinyatakan tidak pernah ada, sesuai dengan Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yaitu, “putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Masalah juga timbul pada substansi draft RUU Omnibus ini, terutama pada BAB XIII Ketentuan Lain-Lain pasal 170 ayat (1) yaitu, “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini," lalu pada Ayat 2 disebutkan bahwa “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 7 UU No.15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena pada hierarkinya, Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-Undang, sehingga ketentuan dalam Undang-Undang tidak dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah. Lalu kemudiaan muncul pembelaan dari beberapa tokoh pemerintahan bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan salah ketik dan akan segera diperbaiki, tetapi ketika tulisan ini dibuat pasal tersebut belum mengalami perubahan sama sekali.

Lantas apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terutama “Mahasiswa” dalam menyikapi RUU yang “sangat bermasalah” ini ?.

Kita dapat melakukan 3 hal utama yaitu :

Membangun komunikasi dengan DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi mengenai RUU Omnibus Ciptaker agar aspirasi dari masyarakat dapat tersampaikan.

Mengkampanyekan melalui aksi tentang bahaya/dampak buruk apabila RUU Omnibus Ciptaker disahkan (disituasi pandemi Covid-19 seperti sekarang aksi dapat dilakukan melalui content creatif, dsb) dan

Apabila RUU Omnibus Law Ciptaker disahkan, mahasiswa dapat mengadvokasi masyarakat terutama kaum buruh mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.