source: id.lovepik.com

Konsep tindak pidana korupsi pada awal perkembangannya tentang bagaimana aturan hukum berjalan pada semua tingkat penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya tanpa menyebabkan kerugian pada keuangan negara. Karena kerugian keuangan negara tidak dapat mengakomodir semua, kemudian lambat laun berkembanglah aturan terhadap tipe-tipe korupsi lainnya.

Kerugian keuangan negara cakupannya paling luas dan lebih diutamakan dibanding bentuk korupsi lainnya, jika terjadi lebih dari satu jenis korupsi yang dilakukan, seringkali kerugian keuangan negara paling diprioritaskan untuk dituntut. Diutamakannya kerugian keuangan negara juga dapat dilihat pada konsideran Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana pertimbangan pertama dibentuknya Undang-Undang tersebut menyangkut pemberantasan kerugian keuangan negara.

Definisi “merugikan keuangan negara” sangatlah luas. Misalnya merusak lampu lalu lintas atau mencuri peralatan kantor jika dipikirkan juga termasuk merugikan keuangan negara karena benda yang dirusak atau dicuri tersebut bersumber dari uang negara. Karena definisi yang begitu luas itulah, juga pada beberapa kasus pejabat yang jujur dilema terhadap melakukan kebijakan karena takut menyebabkan kerugian keuangan negara sehingga dijerat Undang-Undang Tipikor, padahal tidak ada niatan untuk melakukan korupi. Tetapi penegak hukum tidak serta merta menggunakan Undang-Undang Tipikor, aparat penegak hukum terutama kejaksaan biasanya melihat seberapa patut seseorang dapat dikenakan pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor. Apalagi Kata “dapat” pada pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (red : UU Tipikor) telah dihapus melalui putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Sehingga harus secara nyata terukur bahwa keuangan negara mengalami kerugian.

Tetapi jika benar bahwa keuangan negara mengalami kerugian, maka siapa yang berwenang menghitungnya ?. Instansi yang berwenang adalah BPK dan BPKP yang juga sering bekerjasama dengan PPATK, dan juga biasanya tiap instansi punya auditor internal masing-masing yang melakukan penghitungan terlebih dahulu. Pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak serta merta dilakukan, tetapi seringkali telah diusut minimal 1 bulan sebelumnya dan sudah ada bukti-bukti yang salah satunya yaitu hasil audit.

Kasus yang banyak ditangani oleh KPK selain suap menyuap, adalah Kerugian keuangan negara, kemudian timbul pertanyaan, apakah ada kerugian keuangan negara pada BUMN ?. Pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyatakan Keuangan negara meliputi “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah” itu artinya menurut Undang-Undang ini apabila BUMN mengalami kerugian, sama artinya telah terjadi kerugian pada keuangan negara.

Tetapi pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” yang kemudian pada penjelasannya berbunyi “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.” itu artinya menurut Undang-Undang ini apabila BUMN mengalami kerugian, tidak lagi dapat disebut bahwa terjadi kerugian pada keuangan negara, tetapi dianggap kerugian terjadi pada perusahaan.

Terjadi pemahaman yang bertentangan pada kedua Undang-Undang tersebut diatas, tetapi pada praktiknya, keuangan negara termasuk harta negara pada perusahaan BUMN, disimpulkannya hal ini terlihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 5 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi “Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), pemerintah berwenang untuk: menggunakan anggaran yang bersumber dari: dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”

Kemudian bagaimana upaya negara dalam mengembalikan kerugian keuangan negara ?. Sering dilihat di media kasus-kasus yang menyebabkan kerugian besar pada keuangan negara tetapi pengembaliannya sangat sedikit dibanding kerugian yang dialami. Hal ini terjadi karena seringkali para pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara menyembunyikan hasil korupsinya dengan cara melakukan pencucian uang (TPPU). korupsi memang identik dengan TPPU, Karena agar hasilnya tidak ketahuan. Mengenai pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak optimal, hal ini terjadi karena

Tidak diketahui atau sulit terlacaknya aliran dana, kebanyakan kasus-kasus besar tidak mudah terlacak oleh PPATK karena caranya melakukan korupsi dengan berbagai cara transaksi, misalnya menghindari transaksi melalui bank atau elektronik atau jenis lainnya yang mudah terlacak, dengan cara menggunakan uang cash, ataupun tanpa melibatkan dirinya atau keluarganya atau orang dekatnya dalam bertransaksi agar sulit dilacak.

Apabila aliran dana terlacak, negara harus membuktikan bahwa aset adalah hasil perbuatan korupsi, sehingga JPU dalam mengajukan tuntutan akan berfikir secara matang apabila akan mengaitkan TPPU dengan Tipikor guna menghindari lepasnya terdakwa dari tuntutan hukum.