Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang bersifat terorganisir dan transnasional serta dapat menimbulkan kekhawatiran kepada banyak negara di seluruh dunia dalam kaitannya sebagai suatu kejahatan serius (serious crime). Atas dasar kekhawatiran terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU tersebut, yang selanjutnya melatarbelakangi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2003 mengeluarkan Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption. Indonesia salah satu negara party yang turut serta meratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) atau UU Ratifikasi UNCAC.

Peraturan hukum nasional lainnya terkait TPPU, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana) atau KUHP, Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU Tipikor, Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya disebut UU TPPU, Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru yang akan mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana atau RUU Perampasan Aset yang merupakan salah satu program legislasi nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia saat ini dan instrumen hukum lain yang terkait.

 Proses pencucian uang umumnya dilakukan dalam tiga tahapan:

  •        Placement: Penempatan dana hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan,
  •        Layering: Penyamaran melalui transaksi berlapis dan kompleks agar sumber dana sulit dilacak,
  •       Integration: Mengembalikan dana agar tampak sah melalui investasi atau bisnis legal.

     Konstruksi hukum dalam UU TPPU membedakan antara TPPU aktif (Pasal 3), TPPU pasif (Pasal 5), dan TPPU menyamarkan asal-usul harta kekayaan (Pasal 4), yang semuanya disertai sanksi berat berupa pidana penjara hingga 20 tahun dan denda miliaran rupiah. Selain individu, korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (Pasal 6 sampai Pasal 9 UU TPPU), dengan sanksi berupa denda hingga Rp100 miliar serta pidana tambahan seperti pembekuan usaha, perampasan aset, bahkan pembubaran badan hukum.

Namun, meskipun instrumen hukum sudah tersedia, pemberantasan TPPU di Indonesia masih menghadapi tantangan. Mekanisme yang cenderung konvensional dengan fokus pada penangkapan pelaku sering kali tidak efektif apabila tersangka melarikan diri, meninggal dunia, atau mengalami hambatan proses hukum lainnya. Karena itu, gagasan penerapan sistem peradilan in absentia sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) dan (2) UU Tipikor perlu dipertimbangkan untuk diadopsi dalam UU TPPU. Hal ini memungkinkan negara tetap dapat memproses perkara dan menyita aset meski pelaku tidak hadir di persidangan.

Efektivitas pemberantasan TPPU sangat bergantung pada strategi perampasan aset hasil kejahatan, bukan hanya penghukuman pelaku. Dengan begitu, negara tidak sekadar menghukum, melainkan juga mengembalikan kerugian dan menutup celah pemanfaatan hasil kejahatan untuk kegiatan legal maupun ilegal. Adapun modus pencucian uang sangat beragam, mulai dari loan black, transaksi internasional dengan dokumen L/C, penyelundupan uang tunai, investasi real estate, perdagangan saham, hingga penggunaan identitas palsu atau perusahaan bayangan (shell company). Modus yang semakin kompleks menuntut aparat penegak hukum, PPATK, lembaga keuangan, serta kerja sama internasional agar dapat melakukan deteksi dini dan penindakan yang efektif.