Pengaturan tindak pidana korupsi pada awalnya hanya terdapat dalam KUHP, namun ketentuannya dianggap belum mampu menjawab kompleksitas fenomena korupsi yang berkembang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus yang memberikan definisi lebih jelas, cakupan lebih luas, serta mekanisme penindakan yang lebih efektif. Pembentukan berbagai undang-undang pemberantasan korupsi merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam memperkuat sistem hukum nasional guna menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih (clean government) dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN). Peraturan tersebut juga sejalan dengan komitmen internasional untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan yang melintasi batas negara.
A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang ini merupakan regulasi khusus (lex specialis) pertama di Indonesia yang secara komprehensif mengatur pemberantasan korupsi. Lahir karena ketentuan dalam KUHP dianggap belum mampu mengakomodasi kompleksitas korupsi yang terjadi setelah masa transisi pemerintahan.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang ini lahir sebagai penyempurnaan dari UU No. 3 Tahun 1971. Ruang lingkupnya diperluas, termasuk definisi perbuatan koruptif, unsur melawan hukum, serta mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara. UU ini juga memperkenalkan beberapa strategi pemberantasan, seperti pengaturan gratifikasi secara lebih jelas, tindak pidana pencucian uang terkait korupsi, serta memperkuat peran masyarakat dalam pengawasan.
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-Undang ini merupakan amandemen untuk memperkuat kembali UU No. 31 Tahun 1999 dengan menutupi kekurangan yang masih ada. Pendekatannya semakin represif dan preventif, terutama terkait gratifikasi, suap, penggelapan jabatan, pemerasan, serta memperberat ancaman pidana bagi pelaku. UU ini juga mengatur secara tegas mengenai siapa saja yang dapat menjadi subjek tindak pidana korupsi, yang mana tidak hanya pegawai negeri, tetapi juga pihak swasta yang dapat merugikan keuangan negara.
B. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) telah diundangkan pada 2 Januari 2023 dan akan menggantikan Wetboek van Strafrecht (KUHP Lama) karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum pidana modern. Pergeseran paradigma tersebut ditandai dengan perubahan orientasi dari aliran Klasik (daad-strafrecht) menuju aliran Neoklasik (daad-daderstrafrecht), yang lebih menekankan keseimbangan antara perbuatan pelaku dan aspek pertanggungjawaban pelakunya.
KUHP Nasional memuat empat misi utama pembaruan hukum pidana, yakni:
- Dekolonisasi dalam bentuk "rekodifikasi"
- Demokratisasi hukum pidana
- Konsolidasi hukum pidana
- Adaptasi dan harmonisasi
Salah satu hal yang menarik dalam KUHP Nasional adalah dimasukkannya beberapa tindak pidana yang sebelumnya diatur dalam undang-undang khusus ke dalam KUHP Nasional, tepatnya pada Buku II Bab XXXV tentang Tindak Pidana Khusus. Adapun tindak pidana khusus yang diatur dalam bab tersebut meliputi tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, terorisme, korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta narkotika. Beberapa pasal yang ditarik kedalam KUHP Baru diantaranya Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13.
C. Asas Preferensi Dalam Hukum
1. Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas ini mengandung makna bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama atau berada dalam lingkungan hukum (regim) yang sama dengan lex generalis
2. Lex Posterior Derogat Legi Priori
Asas lex posterior derogat legi priori mengandung prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama, sepanjang keduanya memiliki kedudukan yang sederajat atau peraturan yang baru memiliki hierarki yang lebih tinggi. Selain itu, asas ini berlaku apabila peraturan baru dan peraturan lama mengatur objek atau materi yang sama.
Dengan berlakunya kedua asas tersebut, muncul pertanyaan mengenai apakah pengaturan kembali pasal-pasal tindak pidana korupsi dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ke dalam KUHP Baru berpotensi menghilangkan sifat kekhususan dari tindak pidana korupsi itu sendiri?
Secara teoritis, peraturan yang berlaku adalah peraturan yang lebih baru. Hal ini sejalan dengan Pasal 622 ayat 1 huruf (l) KUHP Baru yang menyatakan bahwa pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan pasal-pasal yang tidak dicabut tersebut tetap berlaku sebagai lex specialis.
Namun dalam penerapannya diperlukan pendekatan secara kasuistis, karena dalam sistem peradilan pidana dikenal pula asas lex favor reo yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) KUHP Baru. Asas ini menegaskan bahwa dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.
Dimasukkannya tindak pidana korupsi ke dalam KUHP Nasional merupakan bagian dari misi rekodifikasi. Inti atau core crimes dari tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara serta suap-menyuap, ditarik ke dalam KUHP Nasional sebagai bridging articles yang menjembatani pengaturan antara KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, secara struktur norma, keberadaan pasal-pasal yang diintegrasikan ke dalam KUHP tidak menghilangkan keberlakuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena ketentuan khusus tersebut tetap berlaku sebagai lex specialis.
Penulis: Khadijah Herawati
.png)
0 Komentar