“Hajar Serangan Fajar” menjadi s
ebuah seruan kepada seluruh masyarakat untuk menolak, menghindari, dan membentengi diri dari godaan politik uang atau yang dikenal dengan istilah “serangan fajar” menjelang pemilihan umum (pemilu). Politik uang adalah upaya mempengaruhi keputusan pemilih dalam bentuk pemberian uang atau materi berharga lainnya oleh kandidat, partai politik atau pendukungnya dalam sebuah pemilu. Biasanya dilakukan pada pagi hari menjelang waktu pencoblosan.

Praktik politik uang dalam kontestasi politik di Indonesia menjadi hal yang lumrah karena sudah membudaya, mempengaruhi sistem politik dan demokrasi, serta pada akhirnya menjadi sebab politik berbiaya tinggi. 

Mari kita liat ketentuan yang mengatur terkait politik uang itu sendiri :

Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan (7) Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu, bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar, yaitu selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat makan-minum, kalender, kartu nama, pin, dan/atau alat tulis yang apabila dikonversi dalam bentuk uang paling tinggi Rp100.000.

Berdasarkan Pasal 515 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pelaku atau individu yang pada hari atau saat pemungutan suara sengaja melakukan politik uang terancam hukuman penjara selama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. Dalam Pasal 187 a ayat (2) UU Pilkada, pihak pemberi dan penerima akan mendapatkan sanksi pidana minimal 3 tahun atau denda paling sedikit Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. 

Berdasarkan Pasal 523 ayat (2), setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp48 juta. 

Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi dan survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 95% pemilih pemilu menjatuhkan pilihan berdasarkan uang, 72% pemilih menerima politik uang, dan 46,7% pemilih menganggap politik uang hal yang wajar. Sementara itu, riset KPK bersama dengan Deep (Democracy and Electoral Empowerment Partnership) Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya 72% masyarakat Indonesia menerima politik uang pada Pemilu 2019. 82% dari 72% ini merupakan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya literasi perempuan mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik menyebabkan pemilih perempuan rentan terkena politik uang karena mereka memang cenderung tetap menerima uang itu meskipun mengetahui bahwa politik uang dilarang. 

Proses pemilu seharusnya berjalan tanpa kecurangan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu terus ditingkatkan sehingga sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Para calon dari berbagai parpol peserta pemilu diharapkan mampu menahan diri dari dorongan untuk menang dengan cara curang yaitu melalui serangan fajar yang dapat memicu terjadinya korupsi. Himbauan kepada masyarakat pula agar tidak mudah diperdaya oleh serangan fajar dan menolak politik uang, apabila dari teman-teman menemukan adanya serangan fajar atau politik uang dapat segera melaporkan ke Bawaslu atau Panwaslu setempat. 


Penulis : Zhafira Saliana Lativa

Referensi :

https://aclc.kpk.go.id/hajarseranganfajar

https://deepindonesia.org/merdeka-dari-politik-uang/

https://rmol.id/hukum/read/2023/07/14/581496/kpk-ungkap-72-persen-pemilih-pemilu-2019-terima-politik-uang-mayoritas-emak-emak