RILIS AKSI GARDA TIPIKOR 

HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA 2022 

“DISORIENTASI PEMBERANTASAN KORUPSI: EFEK JERA MINIM, KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TIDAK KEMBALI, BUKTI NEGARA PERMISIF”

    Tibalah kita pada titik balik revolusi yang menggetarkan hati. Kekuasaan oligarki yang terbungkus dengan rapi oleh kerangkeng demokrasi seolah mengabarkan bahwa inilah akhir dari reformasi. Segelintir amanat reformasi dibuat terberai oleh peluru yang dilepaskan oleh preman-preman parlemen. Orientasi pemberantasan korupsi saat ini tak lagi selaras dengan apa yang di cita-citakan. Berbagai masalah yang terjadi mulai dari efek jera yang minim akibat tren vonis rendah pengadilan tipikor, pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak optimal, dan pengesahan UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan. Pengesahan UU ini berimplikasi pada kemudahan bagi koruptor untuk mendapatan remisi atau pengurangan masa tahanan dikarenakan syarat-syarat yang harus dipenuhi itu sama seperti narapidana biasa. 

    Berbagai macam upaya pencegahan maupun penindakan yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, KPK, maupun Lembaga Peradilan tampaknya masih belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK). Di tahun 2021, IPK Indonesia meningkat satu angka dari tahun sebelumnya yaitu 38. Meski demikian, kenaikan angka tidak bisa dijadikan tolok ukur kemajuan pemberantasan korupsi, pasalnya kenaikan tersebut dipengaruhi oleh deregulasi sektor ekonomi, sementara sektor penegakan hukum sendiri mengalami penurunan. Patut dicatat, pasca revisi UU KPK di tahun 2019, IPK Indonesia sempat mengalami penurunan 3 poin di tahun 2020. 

    Belum lekang diingatan bagaimana pengadilan tinggi DKI Jakarta menyunat vonis Pinangki Pirnamalasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung. Obral diskon oleh peradilan tipikor telah menjadi sebuah persoalan yang kompleks dan kian memperjelas ketidakberpihakan lembaga kehakiman terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh data dari ICW pada tahun 2021 tercatat ada 1.282 perkara korupsi yang melibatkan 1.403 terdakwa, hukuman atau vonis yang dijatuhkan terhadap para koruptor tersebut tergolong ringan yakni rata-rata 3 Tahun 5 bulan Penjara. Hal tersebut berpotensi diperparah dengan disahkannya RKUHP yang didalamnya memuat delik tipikor, dimana terkait sanksi minimal pada pasal 2 Undang – Undang Tipikor dikurangi dari 4 tahun menjadi 2 tahun. 

    Di sisi lain, terkait problematika pengembalian kerugian keuangan negara. Kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp62,93 triliun pada tahun 2021. Nilai kerugian negara tersebut pun naik 10,91% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp56,74 triliun. Adapun pemulihan kerugian keuangan negara berjumlah Rp1.4 trilliun atau hanya 2,47% dari kerugian keuangan yang dialami oleh negara. Hal ini disebabkan karena instrumen hukum yang ada masih mengakomodir doktrin retributive justice yang berarti penitikberatan terhadap efek jera kepada pelaku. Padahal paradigma retributive justice sudah tidak relevan dengan tujuan utama pemberantasan korupsi saat ini dan semangat untuk menyelamatkan aset negara yang berorientasi pada pemulihan akibat tindak pidana korupsi. Mekanisme pengembalian aset saat ini sangat bergantung pada pidana denda dan pidana tambahan uang pengganti. Sementara perampasan aset koruptor harus terlebih dahulu dibuktikan bahwa aset tersebut merupakan hasil korupsi. 

    Kejenakaan pemberantasan korupsi di Indonesia seolah hampir mencapai titik klimaksnya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menolak untuk mengusut dugaan penerimaan Gratifikasi oleh mantan Komisionernya Lili Pintauli Siregar dengan dalih “takut menimbulkan konflik kepentingan”. Alexander marwata selaku wakil komisioner KPK ragu akan independensi lembaganya apabila harus menangani kasus tersebut. Dalih tersebut tentu saja menciderai akal sehat publik dan mengkhianati salah satu amanat reformasi. Pembentukan KPK adalah manifestasi daripada amanat reformasi yang menginginkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang independen dan tidak pandang bulu. 

    Segala bentuk komedi yang diparodikan mencapai puncaknya ketika untuk pertama kalinya seorang Hakim Mahkamah Agung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus suap dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung. Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya. Mereka adalah Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), Desy Yustria (DY) selaku PNS pada Kepaniteraan MA, dan Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan MA. Kemudian pasca pengembangan kasus ini, akhirnya terungkap kasus korupsi lain yang sekali lagi dilakukan oleh hakim agung Gazalba Saleh. 

     Semua permasalahan di atas semakin menampakkan betapa buruknya sistem pemberantasan korupsi di Indonesia. Komitmen penegak hukum yang buruk, regulasi yang tidak memadai, hingga pembungkaman masyarakat sipil menjadi hal yang patut untuk segera dibenahi bersama. Untuk itu, di Hari Anti Korupsi Sedunia 2022, Garda Tipikor menyatakan sikap: 

  1. Mengecam segala bentuk pelemahan terhadap pemberantasan korupsi
  2. Mengecam pengesahan Undang-Undang Pemasyarakatan yang mempermudah pemberian remisi bagi koruptor. 
  3. Mengecam Pengesahan RKUHP yang merekodifikasi delik Tipikor ,
  4. Mendesak Pemerintah untuk segera merivisi Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  5. Mendesak KPK untuk mengusut kasus Lili Pintauli Siregar yang terindikasi menerima korupsi.
  6. Mendesak diadakannya reformasi birokrasi peradilan yang korup.
  7. Mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas segala kasus korupsi di Sulawesi Selatan