Pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini dinilai berada pada titik nadir, sebagian secara ekstrim menyatakan telah mati. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya, rendahnya komitmen Presiden untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan ketika terjadi revisi UU KPK, serta sikap bergeming Jokowi atas rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM yang menyatakan tes wawasan kebangsaan (TWK) mengandung maladministrasi dan melanggar hak asasi manusia. Kini sinyal pelemahan pemberantasan korupsi semakin jelas ketika Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi warga binaan khususnya pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional lainnya. Dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, remisi berarti pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri yang apabila napi koruptor telah dapat memenuhi syarat-syarat tertentu maka dapat memperoleh remisi alias pengurangan masa menjalani jabatan sebagai narapidana korupsi. Aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Dalam Pasal 1 aturan tersebut pun dijelaskan pengertian remisi sebagai berikut.
Pada prinsipnya, penanganan kasus korupsi harus dilakukan secara paripurna. Semua aktor yang terlibat harus diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pada praktiknya, banyak aturan-aturan yang justru bertimbal balik dengan prinsip tersebut. Salah satunya aturan baru mengenai remisi koruptor. Pada konteks korupsi urgensi keberadaan PP pengetatan remisi dilatarbelakangi berbagai faktor, salah satunya, lemahnya sistem hukum Indonesia yang belum mengatur perampasan asset hasil korupsi. Akibatnya muncul efek berantai, dimana koruptor yang masih memiliki harta berlimpah kemudian menghadirkan mafia hukum sehingga bisa mendapatkan putusan ringan, menghuni sel mewah, termasuk mendapatkan diskon dalam berbagai jenis remisi seperti hari kemerdekaan, hari raya maupun remisi kemanusiaan. Padahal sebelumnya MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana. Untuk narapidana korupsi, misalnya, yang bersangkutan haruslah menyandang status justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi. Tanpa adanya status JC, pelaku atau narapidana kasus korupsi tidak berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman. Tentu saja pembatalan PP pengetatan remisi telah mencederai rasa keadilan masyarakat, apalagi konsekuensiatas pembatalan tersebut menyebabkan pengaturan remisi tidak lagi mengenal pengelompokan narapidana tindak pidana khusus. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan pengajuan remisinya tidak lagi wajib menjadi justice Collaborator maupun membayar uang pengganti korupsi. Diketahui sebelumnya Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Berikut isi pasal dalam PP No. 99 Tahun 2021 yang dihapus MA:
❖ Pasal 34A ayat (1) huruf (a)
Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a) bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b) telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;
❖ Pasal 34A ayat (3)
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
❖ Pasal 43 A ayat (1) huruf (a)
Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
❖ Pasal 43 ayat (3)
Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu bagimana aturan remisi koruptor saat ini? Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti, sesuai denga nisi pasal 10 Permenkumham No. 7 Tahun 2022. Pada intinya dalam Permenkumham ini mempersyaratkan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas mengatakan, remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor, selain melukai rasa keadilan hukum, juga menunjukkan pemerintah yang tidak sensitif terhadap semangat pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, Kejahatan Korupsi yang luar biasa, Justru dihukum dengan tidak luar biasa. Bahkan Komisioner KPK mengaku kecewa lantaran Kemenkumham dengan mudah memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi para terpidana korupsi.
Setidaknya ada tiga poin besar yang penting untuk Dijadikan pertimbangan :
Pertama konsep restorative justice lahir karena mekanisme hukum tidak berpihak pada korban sehingga dibutuhkan pendekatan hukum yang lebih adil. Artinya jika argumentasi MA yang menyatakan pengetatan remisi tidak sejalan dengan keadilan bagi korban sesuai prinsip restorative justice sungguh tidak tepat. Terpidana sebagaimana dimaksud PP 99/2012 seperti koruptor bukanlah korban, justru masyarakat yang sulit mendapatkan layanan publik yang berkualitas atau masyarakat yang jatah bansosnya dikorupsi yang merupakan korban sesungguhnya.
Kedua Kemudian soal alasan diskriminasi yang menjadi dasar pembatalan ternyata MA terlihat inkonsisten terutama jika dibandingkan dengan putusan MA No 51 tahun 2013 yang justru menjelaskan keberadaan PP No 99 tahun 2012 untuk memperketat syarat pemberian remisi merupakan cerminan nilai keadilan. Putusan MA 51/2013 bahkan menegaskan bahwa perbedaan perlakuan merupakan konsekuensi, keamanan, generasi muda dan masa depan bangsa dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana. Juga jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 54/PUUXV/2017 menegaskan jika remisi merupakan hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Remisi bukanlah hak yang tergolong dalam kategori hak asasimanusia (human rights) dan juga bukan merupakan hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketiga soal kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan (overcrowded) ternyata MA terlalu gegabah mengeneralisir situasi tanpa basis data yang akurat. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencatat, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan tindak pidana khusus sebanyak 151.303 orang per Agustus 2021. Dari jumlah itu, narapidana kasus narkoba sebanyak (145.413 orang atau 96%), terpidana korupsi sebanyak (4.671 orang), terorisme sebanyak (371 orang,) Penebangan liar sebanyak (349 orang), perdagangan orang sebanyak (325 orang) dan pencucian uang sebanyak (174 orang).
Dampak pemberian remisi pada Narapidana Korupsi juga sangat dirasakan. Salah satunya yaitu, tidak memberi efek jerah terhadap para pelaku korupsi. Hal ini justru hanya akan membuat para pelaku Korupsi merasa tidak takut untuk melakukan Tindakan Korupsi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan atau UU Pemasyarakatan. Adalah salah satu contoh dari akibat political corruption atau korupsi politik yang berupa penyalahgunaan kekuasaan untuk pribadi atau kelompok dan korporasi. Dimana undang-undang yang lahir tidak efektif dan hanya menguntungkan “partai berkuasa”. Tindakan untuk memiskinkan koruptor agar menjadi salah satu agenda penegakan hukum yang melibatkan terpidana koruptor dengan jalan menyita seluruh aset yang diduga berasal dari hasil korupsi selama proses penyelidikan, penyidikan dan pengadilan berlangsung. Dibalik tujuan mulia dari pemberian remisi untuk memberikan motivasi kepada narapidana agar selalu berkelakuan baik. Hal ini menjadi remeh jika pemberlakuannya diberikan kepada koruptor. Sudah semestinya perbuatan korupsi memiliki konsekuensi atau sanksi yang luar biasa. Hukuman terbaik terhadap orang yang mengambil hak hidup ataupun mengganggu hajat hidup orang banyak adalah dengan dimiskinkan, diasingkan, dan kerja sosial seumur hidup. Walaupun tidak dipungkiri pemiskinan, pengasingan, dan kerja sosial seumur hidup juga masih menjadi pro kontra sebab ada yang berpendapat bahwa hal itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Maka dari itu sebaiknya negara melalui Menteri Hukum dan HAM memperketat syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor, tentu bukan melanggar hak asasi manusia. Hak-hak koruptor secara yuridis adalah hak yang bisa dibatasi, bahkan juga tersurat dalam undang-undang pemasyarakatan bahwa syarat dan tata cara pemberian remisi diatur (bisa dibatasi) dengan peraturan pemerintah. Sudah Seharusnya pemerintah bukan hanya memberlakukan moratorium atau penghapusan remisi bagi para koruptor, akan tetapi juga untuk jangka panjang Undang-Undang Pemasyarakatan perlu direvisi. Dan juga kami berharap Agar pemerintah lebih ketat dalam melakukan pengawasan di lembaga pemasyarakatan untuk menghindari pemberian fasilitas khusus bagi narapidana kasus korupsi.
Penulis: M. Arsyil Qadri, Achmad Faisal Affandi NS, Nurul Aisyah, Amalia Safitri R. Samada, Jumranita. Zhafira Saliana Lativa, Ali Azhar, Yandri Geovani, Muhammad Syalsabil Ikhwan, Putri,A. Syahriana, Hasyim Muchtar, Alya Hartantii, Nurul Rachmadani, Andi Nur Hidayah, Muhammad Abi Dzar Al Ghiffariy, Novia Jushu Ramadhani, Muh. Alvito Salsabil Aksya, Muhammad Ismail Syarief, Willfrianes Sarry, Asma Ul Husna, Adiel Yason Sambenga.
0 Komentar