source: covid19.go.id

COVID-19 atau akrab disebut Corona telah semakin meluas tersebar di Indonesia, tercatat hingga hari ini korban meninggal dunia di Indonesia telah mencapai ratusan dan masyarakat yang teridentifikasi positif telah mencapai ribuan orang, pemerintah pun melakukan berbagai langkah agar pandemi COVID-19 ini segera berakhir dan dampaknya segera teratasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah merupakan pelaksanaan lebih lanjut terhadap Undang-Undang, sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 hanya mengatur langkah-langkah taktis penanganan pandemi COVID-19, jika dikemudian hari ada berbagai penyakit lain yang bermunculan, maka Peraturan Pemerintah tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi. Isi dari Peraturan Pemerintah tersebut pun dapat dikatakan hanya menduplikasi aturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, Seolah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai langkah praktis mengenyampingkan peraturan perundang-undangan. 

Peraturan pemerintah (pp) yang juga turut dikeluarkan oleh pemerintah dapat dinilai cacat formil. Hal ini Dikarenakan pada konsideran menimbang tidak terdapat UU atau pasal dalam UU yang menjadi rujukan di keluarkan nya PP tersebut. Pada hakikatnya, PP merupakan aturan tambahan atau penjelas dari sebuah UU atau pasal dalam UU. 

PP No. 21 Tahun 2020 dari segi formil dapat dinilai bermasalah hal ini di karenakan PP hanya mengandung penjelasan mengenai PSBB padahal di UU Kekarantinaaan mengatur 4 jenis karantina termasuk di dalamnya PSBB. Selain itu dalam konsideran menimbang tidak terdapat UU rujukan padahal PP merupakan aturan penjelas atas sebuah UU atau pasal dalam UU. Dari segi daya guna, PP ini hanya berlaku untuk pandemi corona artinya PP ini tidak dapat di gunakan untuk mengatasi wabah penyakit lain di masa yang akan datang. Materi muatan masih kurang karena hanya mengatur peliburan secara umum dan PP ini tidak teknis atau rinci menjelaskan bagaimana proses penanganan COVID-19 ini. Pelaksanaan kebijakan pemerintah kurang terorganisir dengan baik, khususnya koordinasi antar instansi pemerintahan. Satuan tugas Covid-19 harusnya dapat menjembatani pemerintah pusat dan daerah agar terjalin Harmonisasi.

Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau kegiatan di tempat atau fasilitas umum serta , sesuai dengan yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan timbul wacana apabila penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak berjalan dengan efektif maka akan diterapkan darurat sipil, Hal ini membuktikan penyelenggaraan karantina wilayah sudah semestinya dilakukan.

Pada sisi pemerintahpun terlihat terjadi perbedaan persepsi. Awal disharmonisasi diantara Pemerintah Daerah dan Pusat akibat pemerintah Pusat terlambat mengambil tindakan. Merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk menetapkan karantina wilayah ataupun penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pemerintah Pusat terkesan fokus ke ekonomi sedangkan Pemerintah Daerah terkesan fokus ke rakyatnya, dapat dilihat dari pemerintah daerah yang sudah menginginkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar sedangkan Pemerintah pusat terlambat menerapkannya, bahkan sudah berulang kali beberapa pemerintah daerah meminta diterapkannya karantina wilayah tapi tidak disanggupi oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah dapat dinilai melanggar ketika menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada saat belum ada penetapan dari Pemerintah Pusat. Padahal Pemerintah daerah beritikad baik melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar tetapi pemerintah pusat menanggapi dengan skeptis. 

Keluarnya Maklumat Kapolri Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19) dapat dinilai tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, karena dikeluarkan sebelum adanya penetapan Darurat Kesehatan oleh Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 dan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, walaupun maklumat tersebut dikeluarkan dengan mempertimbangkan situasi nasional terkait penyebaran COVID-19 serta untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan mengacu asas Salus Populi Suprema Lex Esto sehingga mengedepankan kemaslahatan daripada timbulnya hal buruk, tetapi harus dengan dasar hukum yang jelas.

Ditetapkannya Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran Dan Pembebasan Narapidana Dan Anak Melalui Asimilasi Dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan COVID-19 merupakan langkah untuk menyelamatkan narapidana dan anak dari tertularnya mereka oleh Pandemi COVID-19 di dalam tahanan. 

Fenomena penyakit menular lainnya sejatinya dapat juga terjadi di dalam ruang tahanan, seperti TBC, hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti kapasitas ruang tahanan yang tidak lagi mampu menampung narapidana dan anggaran makan yang sangat rendah, hanya sebesar 14.800 - 15.000 rupiah untuk setiap narapidana perhari. Ada pula pendapat masyarakat yang menganggap narapidana kasus korupsi diistimewakan karena situasi ruangan tahanannya yang tidak padat seperti kasus pidana lainnya, padahal narapidana kasus tindak pidana korupsi bukannya diistimewakan, tapi memang penjaranya berstatus super maksimum sehingga 1 sel diperuntukkan untuk 1 orang. 

Perlu digarisbawahi juga bahwa pengeluaran tidak sama dengan pembebasan, karena pengeluaran sesungguhnya narapidana tersebut masih tetap dalam pengawasan, seperti melakukan kerja sosial contohnya mengabdi di panti asuhan dari pagi sampai sore hari. Tetapi dalam kondisi terjadinya Pandemi COVID-19 ini mereka akan berada di rumah masing-masing. 

Pengeluaran tahanan pun tidak serta merta dilakukan. Pengeluaran tahanan diterapkan jika telah menjalani ½ dari masa pidana atau 2/3 masa pidananya jika hukumannya dibawah 5 Tahun, dan sebagai reward atau penghargaan atas para tahanan yang berkelakuan baik, serta hal ini pun dilaksanakan dengan penuh pertimbangan. 

Ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 sudah tepat di situasi force majeur akibat COVID-19 ini. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 adalah imbas dari COVID-19, di dalam 1 aturan tersebut mencakup lintas sektoral sehingga terkesan mirip konsep omnibus law. Tetapi penetapan keadaan darurat oleh pemerintah berimplikasi langkah-langkah luar biasa memang harus diambil, penerapan pasal 27 pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 untuk mentaktisi terjadinya tindak pidana akibat keluarnya dari jalur yang seharusnya (UU APBN) sehingga seolah pemangku kebijakan diberi imunitas agar dapat mengambil tindakan, hal ini masih dalam hal yang wajar, walaupun sudut pandang sebagian masyarakat menganggap hal ini untuk menghindari tanggung jawab oleh pemerintah. Juga mengenai perkara pasal 27 pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 masih ada hak interpelasi dari DPR dan masih dapat diuji. Forum-forum kajian tidak akan ada jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah telah sesuai, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah juga banyak yang terlambat dan bersifat anomali, seperti mudik yang dilarang tetapi terminal-terminal dan bandara masih dibiarkan terbuka. Substansi aturan yang kabur menyebabkan kultur masyarakat menjadi tidak baik sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat rendah.

Pada kondisi darurat ini diperkirakan selanjutnya akan timbul aturan-aturan yang bersifat fluktuatif dan kemungkinan akan bertentangan dengan perspektif masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bukan lagi tentang benar ataukah salah, tetapi lebih mengedepankan baik dan buruknya, meskipun seperti itu, seharusnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetap dengan dasar hukum yang jelas.

Masyarakat harus memperluas pengetahuan hukumnya agar dapat menghilangkan jarak antara kelas menengah dan pemangku kekuasaan mengenai pemahaman aturan, sehingga pada akhirnya masyarakat dapat memberikan pemikiran-pemikiran dari berbagai perspektif ke pemerintah.