Secara umum, hukum acara yang digunakan dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sama seperti peradilan pidana lainnya. Namun, yang membedakan adalah sistem peradilan Tipikor memiliki sifat kekhususan, antara lain dalam hal pembentukan pengadilannya yang bersifat khusus, komposisi majelis hakim yang melibatkan hakim ad hoc, serta kewenangan penuntutan yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kekhususan ini membuat peradilan Tipikor memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari peradilan pidana biasa.

A.     Hukum Acara Pidana

1. Definisi

    Secara garis besar, Hukum Acara menurut R. Soeroso adalah kumpulan aturan untuk mencari kebenaran dan keadilan atas pelanggaran hukum materiil. Sedangkan menurut Moeljatno, Hukum acara (formil) mengatur tata cara untuk melaksanakan/mempertahankan hukum pidana materiil.

2.     2. Sumber Hukum Acara Pidana

·        Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP);

·         Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP;

·         Peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang hukum acara.

3.     3. Ruang Lingkup Hukum Acara Pidana

a.       Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik (Kepolisian Republik Indonesia) untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dasar hukum pelaksanaan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP.

b.       Penyidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik (Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh Undang-undang) dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dasar hukum pelaksanaan penyidikan tercantum dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP

c.       Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang. Dasar hukum pelaksanaan penuntutan diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP.

d.       Pemeriksaan Pengadilan

Pemeriksaan di pengadilan merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dasar pelaksanaan pemeriksaan di pengadilan tercantum dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP.

e.       Upaya Hukum

Upaya hukum terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1)      Praperadilan, yaitu wewenang bagi pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 angka 10), tentang:

a)  sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b)   sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c)   permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

2)      Upaya Hukum Biasa, yaitu upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap.

a)    Banding, yaitu upaya hukum yang dapat diajukan oleh salah satu dari kedua belah pihak yang berperkara (terdakwa atau jaksa penuntut umum) untuk meminta pengadilan yang lebih tinggi melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak adil atau terdapat kesalahan dalam pengambilan keputusan.

b)      Kasasi, yaitu upaya hukum tingkat terakhir yang diajukan kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan atau meninjau kembali putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) yang dianggap tidak sesuai dengan hukum atau prosedur yang berlaku.

3)      Upaya Hukum Luar Biasa, yaitu upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

a)    Peninjauan Kembali (PK), yaitu upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau kuasa hukumnya kepada Mahkamah Agung untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) apabila terdapat alasan-alasan tertentu yang membenarkan pengajuan PK. 

B.      Peradilan Tindak Pidana Korupsi

1.     1. Definisi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Pengadilan Tipikor) merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan satu-satunya pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Meskipun berada dalam lingkup peradilan umum, kewenangan untuk mengadili perkara Tipikor secara khusus hanya dimiliki oleh Pengadilan Tipikor.

2.       2. Sumber Hukum

·     Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum di Indonesia;

·       Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

·       Peraturan perundang-undangan lain yang mengatur yang berkaitan.

3.       3. Acara Persidangan

a.       Pembacaan Dakwaan

Sidang perkara tindak pidana korupsi dimulai dengan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di hadapan majelis hakim dan terdakwa. Surat dakwaan memuat uraian lengkap mengenai identitas terdakwa, perbuatan pidana yang dilakukan, serta pasal-pasal hukum yang telah dilanggar. Dalam peradilan Tipikor, surat dakwaan harus jelas dan cermat karena menjadi dasar pemeriksaan dan pembuktian.

b.       Keberatan Terdakwa dan Pendapat Penuntut Umum

Setelah dakwaan dibacakan, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan (eksepsi) jika terdapat alasan hukum untuk menolak dakwaan, misalnya menyangkut kompetensi absolute atau relative, ataupun apabila terdapat kekeliruan dalam dakwaan. Keberatan ini hanya dapat diajukan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Jaksa penuntut umum akan menanggapi keberatan tersebut melalui pendapat tertulis, lalu hakim dapat memutuskan apakah keberatan diterima atau pemeriksaan perkara dilanjutkan ke pokok perkara.

c.       Pembuktian oleh Penuntut Umum

Apabila keberatan ditolak atau tidak diajukan, maka sidang dilanjutkan ke tahap pembuktian. Pada tahap ini, jaksa penuntut umum bertanggung jawab untuk menghadirkan saksi-saksi, ahli, serta alat bukti lainnya guna membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan. Tahap ini merupakan inti dari persidangan karena menyangkut pembuktian atas perbuatan yang dituduhkan dalam surat dakwaan. Proses pembuktian mengikuti asas pembuktian menurut hukum, yakni berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP dan harus meyakinkan hakim. Alat bukti harus sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP dan Undang-Undang Tipikor.

d.       Pemeriksaan Terdakwa dan Saksi Meringankan

Setelah jaksa penuntut umum selesai mengajukan alat bukti, giliran terdakwa untuk memberikan keterangan terkait dakwaan dan pembuktian sebelumnya. Terdakwa memiliki hak untuk membantah dakwaan serta memberikan keterangan sebagai bagian dari pembelaan. Ia juga dapat menghadirkan saksi yang meringankan (a de charge) dan ahli pembela, jika diperlukan. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari asas fair trial, yang memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri dan mengungkap fakta yang belum terungkap dalam proses pembuktian oleh penuntut umum. Keterangan terdakwa juga termasuk salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, meskipun terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.

e.       Tuntutan, Pledoi, Replik, Duplik, dan Putusan

Setelah seluruh proses pemeriksaan selesai, jaksa penuntut umum menyampaikan tuntutan pidana (requisitoir) yang memuat uraian fakta hukum, hasil pembuktian, serta usulan pidana terhadap terdakwa. Selanjutnya, terdakwa atau penasihat hukumnya menyampaikan pledoi atau nota pembelaan sebagai tanggapan terhadap tuntutan tersebut.Jaksa kemudian dapat mengajukan replik (tanggapan atas pledoi), dan terdakwa diberi kesempatan terakhir untuk menyampaikan duplik. Setelah rangkaian proses tersebut selesai, majelis hakim menjatuhkan putusan, yang dapat berupa bebas apabila tidak terbukti melakukan tindak pidana, lepas dari segala tuntutan hukum apabila perbuatan terbukti tetapi bukan suatu tindak pidana, dan pemidanaan apabila terbukti bersalah berdasarkan hukum dan alat bukti yang sah.

4.       4. Alat Bukti Sah (Pasal 184 KUHAP jo. Pasal 26A UU Tipikor)

a.    Keterangan Saksi, yaitu segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi mengenai tindak pidana dan merupakan alat bukti utama yang dapat menguatkan atau melemahkan dakwaan maupun pembelaan.

b.     Keterangan Ahli, yaitu pendapat dari orang yang memiliki keahlian khusus di bidang tertentu yang membantu menjelaskan aspek teknis perkara kepada hakim.

c.   Surat, yaitu setiap dokumen tertulis yang berkaitan dengan perkara, seperti laporan keuangan, kwitansi, kontrak, atau surat keputusan.

d.  Petunjuk, yaitu fakta atau keadaan yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang saling berkaitan, dan digunakan hakim untuk menyimpulkan kebenaran suatu peristiwa.

e.  Keterangan Terdakwa, yaitu pernyataan terdakwa mengenai perbuatan yang didakwakan kepadanya, yang bernilai sebagai alat bukti apabila didukung oleh alat bukti lain.

f.   Bukti Elektronik, yaitu alat bukti tambahan yang diakui dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan diakui sebagai alat bukti di perkara Tipikor, termasuk rekaman CCTV, email, pesan digital, atau data elektronik lain. 

5.      5. Kekhususan Alat Bukti

Dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat pengakuan terhadap alat bukti khusus yang bersumber dari teknologi informasi, yakni:

a.   Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b.  Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, angka, tanda, atau simbol, yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar, baik tercetak di atas kertas, tersimpan dalam media digital, maupun dalam bentuk lainnya.

 


Penulis: Putri Anugrah Ramadhani