Pendahuluan 

    Salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah negara Malaysia adalah kasus Skandal 1Malaysia Development Berhad atau kasus 1MDB. Kasus ini melibatkan Mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, Jho Low, pelobi, dan sejumlah korporasi global. Kasus ini bermula dari dari adanya pendirian 1MBD, sebagai sovereign wealth fund yang didirikan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2009, yang pada saat itu dipimpin oleh Najib Razak yang berkedudukan sebagai Dewan Penasehat, yang semata-mata bertujuan untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada mulanya, kasus ini berawal dari adanya temuan-temuan melalui investigasi media online yang dilakukan oleh Sarawak Report dan The Sunday Times. Kedua media ini menyebutkan beberapa bukti korespondensi elektronik di antara Jho Low dengan PetroSaudi International yang bocor. Selain itu, pada tahun 2009, 1MDB mendirikan perusahaan patungan (Joint Venture) senilai US$700 juta dengan PetroSaudi melalui Good Start Ltd. Menurut dokumen yang diperoleh Sarawak Report dan London's Sunday Times, Jho Low, yang saat ini menjabat sebagai "penasihat" 1MDB, mengawasi dan bertanggung jawab atas semua pasang surutnya operasi perusahaan. 44 Low memerintahkan transfer dana sebesar $700 juta dari jumlah tersebut dari 1MDB ke sebuah rekening bank di Swiss. Setelah mendapatkannya melalui perusahaan cangkang luar negeri dan rekening anonim, Low kemudian dapat menggunakan uang tersebut untuk keperluan pribadi. Perusahaan investasi milik negara Malaysia itu dibentuk oleh Najib tahun 2009, dan ia mengepalai dewan penasihat 1MDB sampai tahun 2016. 1MDB berfokus pada proyek-proyek pembangunan strategis di bidang energi, properti, pariwisata, dan agribisnis. Umumnya, sovereign wealth fund didanai oleh cadangan devisa bank sentral yang berasal dari surplus anggaran dan perdagangan, serta pendapatan dari ekspor sumber daya alam. Namun, Malaysia tidak memiliki dana yang cukup saat mendirikan 1MDB sehingga pengelolanya menggalang dana dengan cara menjual obligasi dan melakukan usaha gabungan (joint venture) dengan pihak asing. Bankir muda Malaysia bernama Low Taek Jho atau dikenal dengan sebutan Jho Low, sahabat karib Riza Aziz yang merupakan anak tiri Najib, ikut membantu pembentukan 1MDB.

    1MDB memperoleh dana miliaran dolar dari obligasi untuk digunakan di proyek investasi dan usaha gabungan antara tahun 2009 dan 2013. Sayangnya, uang tersebut justru dimanfaatkan untuk pencucian uang dan memperkaya diri sendiri oleh para petinggi dan pihak terkait. Departemen Kehakiman (Department of Justice/ DoJ) Amerika Serikat (AS) mengatakan setidaknya uang sebanyak $4,5 miliar ditransfer ke akun-akun bank luar negeri dan perusahaan cangkang, sebutan untuk perusahaan aktif yang tampaknya tidak memiliki usaha atau aset. Sebagian besar malah disebut berpindah tangan ke rekening bank Jho Low, yang terkenal dengan gaya hidup mewahnya. Uang tersebut kabarnya digunakan Low dan rekan-rekannya untuk membeli rumah mewah di beberapa lokasi seperti London, Los Angeles dan New York. Pembelian aset lain, seperti pesawat jet dan kepemilikan saham di perusahaan musik EMI Music Publishing juga disebut menggunakan dana dari 1MDB.


Pembahasan 

    Kasus korupsi 1MDB adalah salah satu skandal korupsi terbesar yang melibatkan mantan perdana menteri Malaysia, Najib Razak, dan sejumlah pejabat tinggi negara tersebut. Kasus ini menimbulkan dampak politik yang signifikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu aspek politik yang terkait dengan kasus ini adalah motif dan tujuan dari korupsi yang dilakukan oleh Najib Razak dan kawan-kawannya. Menurut beberapa analis, salah satu alasan utama mereka melakukan korupsi adalah untuk membiayai kampanye politik mereka dalam pemilihan umum (pemilu) Malaysia. Dengan menggunakan uang hasil korupsi, mereka dapat membeli suara, mempengaruhi media, dan menyuap para pemimpin politik lainnya. Selain itu, korupsi juga dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga mereka. Dari hasil penyelidikan Departemen Kehakiman AS, diketahui bahwa uang publik Malaysia yang dicuri dari 1MDB digunakan untuk membeli berbagai barang mewah, seperti kapal pesiar, lukisan seniman terkenal, properti di negara-negara maju, dan bahkan mendanai film Hollywood. Hal ini menunjukkan betapa rakus dan borosnya mereka dalam menggunakan uang rakyat.

    Aspek politik lain yang berkaitan dengan kasus ini adalah dampaknya terhadap pemerintahan dan demokrasi di Malaysia. Kasus korupsi 1MDB telah mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga politik dan pemerintahan di negara tersebut. Menurut survei Transparency International, Malaysia memiliki tingkat persepsi korupsi yang tinggi, yaitu 51 dari skala 100, dan menempatkan lembaga politik (parlemen) sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada masalah serius dalam sistem akuntabilitas, pengawasan, dan penegakan hukum di Malaysia. Najib Razak mengambil alih jabatan perdana menteri pada tahun 2009, menggantikan Abdullah Badawi yang dianggap gagal memenangkan pemilu tahun 2008. Najib Razak ingin memperkuat posisinya di dalam partai UMNO dan koalisi Barisan Nasional yang telah berkuasa sejak kemerdekaan Malaysia. Untuk itu, ia membutuhkan banyak dana untuk membiayai kampanye politiknya, menyogok para pendukungnya, dan menyuap para lawannya. Ia juga ingin meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyat dengan meluncurkan program pembangunan ekonomi dan sosial. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan 1MDB sebagai badan investasi yang bertujuan untuk memajukan Malaysia. 

    Najib Razak memiliki kendali penuh atas 1MDB sebagai perdana menteri sekaligus menteri keuangan dan ketua dewan penasihat 1MDB. Ia juga menunjuk orang-orang dekatnya sebagai direksi dan manajer 1MDB. Hal ini membuat ia bisa mengatur transaksi-transaksi 1MDB tanpa adanya mekanisme kontrol yang efektif. Ia juga bisa menghalangi penyelidikan yang dilakukan oleh lembagalembaga pengawas seperti Komisi Anti-Korupsi Malaysia (MACC), Bank Negara Malaysia (BNM), Dewan Audit Negara (DAN), dan Parlemen Malaysia. Ia bahkan melakukan pemecatan dan penahanan terhadap beberapa pejabat dan politisi yang mencoba mengkritik atau menyelidiki kasus 1MDB. Najib Razak bekerja sama dengan beberapa individu dan perusahaan asing yang membantunya mengalirkan dana 1MDB ke berbagai negara melalui akun-akun bank dan perusahaan-perusahaan bayangan. Beberapa nama yang terlibat adalah Jho Low, seorang pengusaha Malaysia yang menjadi otak di balik skema korupsi 1MDB; Riza Aziz, anak tiri Najib Razak yang menjadi produser film Hollywood; Tim Leissner, mantan eksekutif Goldman Sachs yang membantu 1MDB menerbitkan obligasi dengan harga tinggi; dan beberapa pejabat dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, China, Singapura, Swiss, dan Amerika Serikat. Uang hasil korupsi 1MDB digunakan untuk membeli berbagai aset mewah seperti kapal pesiar, pesawat jet pribadi, apartemen mewah, lukisan seni, perhiasan, dan barang-barang koleksi lainnya.

    Kasus korupsi 1MDB dipicu oleh faktor-faktor politik yang berkaitan dengan ambisi, kekuasaan, dan uang. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya adanya sistem demokrasi yang sehat, transparan, dan akuntabel di Malaysia. Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi negara-negara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan cara meningkatkan pengawasan publik, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan memperkuat kerjasama internasional dalam hal anti-korupsi.


Kesimpulan 

    Kasus korupsi 1MDB merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah Malaysia, melibatkan mantan perdana menteri Najib Razak, Jho Low, dan pihak-pihak terkait. Motif korupsi dalam kasus ini meliputi pendanaan kampanye politik, pemborosan uang publik untuk kepentingan pribadi, dan memperkaya diri sendiri. Dampak politiknya sangat signifikan, mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga politik dan pemerintahan Malaysia. Kasus ini mengindikasikan masalah serius dalam sistem akuntabilitas, pengawasan, dan penegakan hukum di negara tersebut.

    Najib Razak, sebagai pemimpin tertinggi 1MDB, memiliki kendali penuh atas badan investasi ini, memungkinkannya untuk mengatur transaksi tanpa hambatan. Ia juga menghalangi penyelidikan dan kritik dari lembaga-lembaga pengawas. Kasus ini menunjukkan pentingnya demokrasi yang sehat, transparan, dan akuntabel. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi negara-negara lain untuk meningkatkan pengawasan publik, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan memperkuat kerjasama internasional dalam pencegahan korupsi.